Jumat, 14 Oktober 2016

Sayembara Askar (8)




sebelumnya di sini

“Jadi tetap bakal dibuat, Mbak?” tanya Agni pada Lintang. Sungguh, rasa penasarannya meninggi, mengingat tadi pagi ia sempat bertemu Tantra dan seorang lelaki baya kepercayaan Bram Adinata.
“Jadi…,” Lintang menggaruk-garuk kepalanya. Agni mengerut melihatnya.
“Masih nggak logika aja di kepala gue,” sambung Lintang kemudian.
“Namanya orang kaya, Mbak.”
“Iya sih. Aneh-aneh ya,” seringai Lintang yang dapat dipahami Agni.
“Gue bukan orang kaya, Mbak. Kakak sama Emak gue yang kaya.”
Lintang terkekeh. “Mama lo anaknya cuma dua, Agni. Lo sama Abang lo doang. Jadi hartanya ke siapa lagi kalau nggak kalian.”
“Apaan sih, Mbak. Cari topik lain ah!”
Lintang tersenyum simpul. Seperti itu seorang Agni yang dikenalnya bertahun-tahun. Lahir di keluarga kaya tak membuatnya sombong. Justru dia paling enggan jika disinggung terkait kekayaan keluarganya. Agni bisa saja bekerja di perusahaan keluarga dengan jabatan tinggi, tetapi gadis itu justru memilih menjadi pembaca berita pagi.
“Ni,”
“Hmm,”
“Lo kemarin balik sama asistennya Askar kan?”
Agni mengangguk. “Nggak sengaja ketemu di bawah,”
“Cakep tuh!”
“Siapa?”
“Asistennya Askar lah.” sahut Lintang.
“Tantra?”
“Iya. Tantra. Tadi pas meeting kan ada dia. Setelah gue perhatiin, cakep juga.”  Sahut Lintang.“Ya tapi masih kalah sih sama bosnya.”
Agni memutar bola matanya jengah. “Mbak ini ngomong apa sih,” ujarnya mencoba mengabaikan.
“Ya kali lo demen. Secara lo kan udah lama kayaknya ngejomblo,”
Agni mendengus. Namun tak membalas perkataan Lintang sama sekali. Toh, memang seperti itu faktanya. Dirinya jomblo. Single. Belum punya pasangan resmi.
Belum ya, bukan tidak!
“Eh Ni, mengkhayal yuk!”
“Mengkhayal apaan lagi?” Agni mengernyit menatap Lintang. Lintang itu begitu, suka aneh-aneh.
“Gimana rasanya kalau jadi istri anak konglomerat sekaligus pengusaha sukses macam Askar?”
Gerr…
***

Mendengar program acara sudah mulai dibahas oleh tim, Askar makin dilanda kegusaran. Hidupnya tak tenang, pikirannya tidak fokus. Buyar.  Bahkan sejak Tantra keluar ruangannya, Askar tak melakukan apapun. Tumpukan berkas terlihat rapi di atas meja, tak tersentuh.  Jemarinya justru sibuk mengetuk-ngetuk meja saja dengan isi kepala yang dipenuhi berbagai rencana untuk menggagalkan acara tersebut.
Harus ada rencana, bisiknya dalam hati. Persetan ah dengan Papa!
Tapi apa?
Ide Azka yang belum terlaksana saja sudah dicurigai.
Askar menghela napas kasar.  Ada apa sih dengan pernikahan? Begitu pentingkah untuk kedua orang tuanya. Toh, yang menikah dirinya bukan mereka. Kenapa jadi mereka yang begitu sibuk.
Keturunan?
Ck, alasan apalagi memangnya selain itu. Adinata tentunya butuh penerus. Dan sialnya, dirinya anak tunggal. Jelas tak ada pilihan lain.
Sayembara… sayembara…sayemb…
Askar terdiam sejenak. Dahinya mengerut. Tak lama kemudian ia menghubungi Tantra untuk kembali menghadap dirinya. Hanya selang beberapa detik, sebuah ketukan di pintu terdengar.
“Masuk!”
Tantra muncul.  Sesaat ia meringis. Entah mau apa lagi bosnya ini?
“Konsep acara sejauh mana?”
“Acara?” Ulang Tantra sebelum kemudian mulutnya membulat, menyadari maksud perkataan sang atasan.
“Rencananya akan ada audisi tiap kota. Ada kriteria-kriteria juga untuk wanita yang akan dipilih dan…,”
“Terdengar seperti acara kontes kecantikan,”
Tantra mengangguk. “Secara garis besar memang begitu, Mas. Pak Bram ingin wanita yang sempurna. Nggak hanya cantik tapi juga smart. Jadi tentu saja proses seleksi cukup ketat. ”
Askar manggut-manggut sebelum kemudian tubuhnya condong ke depang. Kedua tanganya bertaut di depan dada dan bertumpu di atas meja.
It’s ok acara tetap dibuat…,”
Ucapan Askar  yang menggantung seketika membuat kerutan di dahi Tantra. Mas Askar setuju acara tetap dibuat?
“Tapi buatlah seolah-olah itu bukan acara ajang pencarian jodoh.”
“Maksud, Mas?”
“Gue pengen mereka nggak tahu,” sahut Askar. “Dengan begitu gue bisa bebas menentukan pilihan. Gue juga bakal ikut dalam proses seleksi akhir. Gimana?”
Tantra memilih diam. Kepalanya dipenuhi berbagai pikiran tentang kata-kata Askar. Tak butuh lama baginya untuk memahami maksud kalimat tersebut.
“Tapi Pak Bram?”
Askar menyeringai. “Itu urusan gue. Pastiin aja lo kerjain bagian lo.”
“Yakin, Mas?”
Seringaian Askar seketika menghilang, Berganti delikan tajam. “Harus, Tra! Papa harus menyetujui ide gue.” Ujarnya kesal.
“Gimana pun caranya.”
Tantra tersenyum kecut. Sungguh, ia sendiri tak menginginkan ide Bram terlaksana. Konyol memang, namun tetap saja akan menjadi skandal yang heboh di masyarakat. Apalagi mengingat kedudukan Askar serta statusnya. Tak hanya berbuah cibiran, tapi juga akan makin banyak wanita ‘tamak’ yang hanya akan mengincar harta Askar.
Seburuk-buruknya Mas Askar, Tantra tetap berharap wanita yang baik lah yang akan mendampingi lelaki itu.
Dan tentu saja tak melulu soal harta.
“Ikut gue!”
“Hah? Kemana, Mas?”
“Ke rumah,”
“Ngapain?”
“Ngomong sama Papa lah,” decak Askar. “Emang lo kira mau ngapain, hah!”
***

 Tantra sedikit kikuk saat memasuki kediaman Adinata. Meski bukan pertama kalinya, tetap saja rumah besar penuh fasilitas mewah bukan sesuatu yang akrab dengannya. Ia tumbuh dan besar dalam lingkungan yang sederhana. Jauh berbeda dengan seorang Askar.
“Tantra!”
Gayatri tersenyum lebar menyeru namanya. Ia baru saja tiba di rumah dan mendapati asisten anaknya duduk sendiri di ruang tengah. “Ya ampun, lama sekali kita nggak ketemu ya,”
Tantra tersenyum dan mengangguk. “Iya, Bu.”
Dengan takzim, Tantra menghampiri wanita baya itu lalu mencium tangannya.
“Hmm, makin cakep aja sekarang.” Sambungnya yang membuat Tantra tergelak. Ini yang disukai dari keluarga Askar. Sosok Ibu yang begitu supel dan menyenangkan. Mengingatkan pada sosok Ibunya di rumah. Sejak awal, Gayatri tak memandang dirinya sebelah mata. Meskipun hanya seorang karyawan tetap saja wanita itu memperlakukannya dengan sangat baik. Ramah dan tidak sombong.
“Kok ketawa?” kernyit Gayatri. “Ini serius loh,”
“Saya nggak berubah kok, Bu. Masih gini-gini aja,”
“Hmm,” Gayatri menggeleng. “Kamu itu lebih berisi. Pas. Nggak kurus kayak dulu.”
Tantra terkekeh. See! Bahkan seorang Gayatri Adinata mengamati perubahan fisiknya.
“Sama siapa? Askar?” tanya Gayatri yang dijawab anggukan Tantra. 
“Terus mana anak bandel itu?” Gayatri bertanya lagi.
Belum sempat Tantra menjawab. Gayatri sudah berucap, “Pasti deh di ruangan Papa. Ngomongin kerjaan kok di rumah?”
“Bukan kerjaan kok, Bu,”
Dahi Gayatri berkerut. “Lalu apa?”
“Ehmm… soal—soal ide Bapak itu…”
“Oh,” Senyum Gayatri merekah. Tantra sedikit heran, tetapi tak lama otaknya sudah dapat mencerna maksud dibalik senyuman itu.
Apalagi kalau bukan menantu. Ibu Askar kan memang sudah lama mendamba menantu di rumah ini.
“Kamu kapan?”
Eh?
“Ayolah, Tantra! Jangan ikut-ikutan bos kamu melajang sampe umur udah lewat kepala tiga kayak gitu,”
Duh!
“Pasti ada kan cewek yang kamu taksir? Ayo-ayo sini cerita sama Ibu. Atau kamu masih jomblo? Ya Tuhan, Tantra! Kalau gitu mau Ibu cariin. Teman Ibu banyak loh anak gadisnya yang cantik-cantik.”
Haduh…
Tantra hanya bisa tersenyum tipis mendengar rentetan kalimat Gayatri. Ia tak menjawab, tak juga mengangguk. Diam dan tersenyum tampaknya pilihan terbaik.
“TANTRA!”
Refleks Tantra menoleh. Askar berdiri di pintu ruang kerja Bram dengan tangan melambai ke arah dirinya. “Sini!” perintah Askar yang seketika membuatnya bernafas lega.
Fiuh, bebas juga dari Ibu
“Hai, Mam!” ujar Askar saat  menyadari keberadaan Ibunya di depan Tantra. “Sorry, Tantra gue ambil dulu. Penting!”
Gayatri mengangguk lalu tersenyum simpul. “Ambil aja! Kalau bahasannya calon mantu sih, Mama senang aja.”
Askar merengut, Tantra tergelak. Ibu Askar memang menyenangkan!
***
“Turun, Agni!”
Agni mendengus sejenak sebelum kemudian keluar dari mobil yang dikendarainya. Tak lama ia bergabung dengan Ibunya yang sudah keluar lebih dulu.
“Muka juteknya dibuang dulu!”
“Mama apa sih?”
“Apa sih-apa sih!” Mama menggeleng. “Itu wajah nggak cocok dibawa ke pesta.”
Bibir Agni mengerucut. “Kan aku memang nggak mau ke pesta. Mama aja yang maksa suruh datang,”
“Nggak enak, Ni! Sonya sama Keynan itu baik. Lagian apa salahnya ngeluangin waktu untuk datang. Kamu juga lagi nggak sibuk kan?”
“Kenapa nggak Mama sendiri aja sih yang berangkat?” protes Agni. Sungguh, ia tak begitu menyukai hal yang berbau pesta, terutama pesta-pesta kaum jetset. Buang-buang uang, hura-hura dan yang pasti cuma jadi ajang pamer.
Agni membenci hal itu.
Tapi malam ini pengecualian. Mama memaksanya untuk menemani ke pesta ulang tahun pernikahan sahabatnya. Pak Min sedang meriang, dan Agni tak ada alasan untuk menolak.
“Udah ah manyun aja! Ayo masuk!” Ajak Mama. “Ya kali di dalam banyak cowok cakep, Ni!”
Agni melotot. Ck, Mama ini…
Persis seperti yang Agni duga. Pesta ulang tahun pernikahan Tante Sonya dan Om Keynan berlangsung begitu meriah. Menyewa ballroom sebuah hotel ternama dengan berbagai dekorasi mewah nan elegan. Ditambah dengan tamu undangan yang begitu ramai.
Ah, ngalah-ngalahin pesta resepsi nikah saja!
Tapi sudahlah! Mereka orang kaya, suka-suka juga mau melakukan apa.
Meskipun tetap saja. Sayang! Kalau untuk kasih makan orang miskin, entah berapa ratus orang yang bisa menikmati.
Sesaat setelah berbasa-basi menyapa Tante Sonya dan Om Keynan, Agni pun memilih melipir di salah satu sudut. Dibiarkannya Mama berkumpul dengan teman-temannya. Ia enggan bergabung. Topik pembicaraan sudah bisa ditebak. Apalagi kalau bukan saling membanggakan anak atau  heboh fashion terbaru saat ini.  Jangan salah, meski sudah terhitung baya mereka tak ketinggalan bergaya seperti kaum muda.
Oh ya satu lagi, terlontarnya pertanyaan yang Agni benci.
Kapan nikah?
Ck, udah kayak nggak ada pertanyaan lain aja sih.
“Loh Agni?”
Agni menoleh. Tampak Azka, bosnya berdiri tak jauh darinya. “Diundang Tante Sonya juga?”
“Bukan saya, Mas. Tapi Mama,” Jawabnya dengan dagu terangkat menunjuk ke sekumpulan Ibu-Ibu yang tengah asyik berbincang-bincang.
“Saya sih cuma jadi sopir, Mas.” Katanya melanjutkan.
Azka tertawa kecil. Kepalanya menggeleng geli. “Terpaksa nih ceritanya,”
Agni mengangkat bahunya. “Nah Mas sendiri?”
“Istriku kan ponakan Tante Sonya,”
Kepala Agni manggut-manggut mendengar perkataan Azka. Pantas saja kalau begitu! Agni baru saja hendak bertanya dimana keberadaan istri bosnya, ketika matanya mendapati sosok laki-laki berjalan mendekati keduanya.
Mata Agni menyipit untuk memastikan, namun tak lama ia mengumpat dalam hati.
Sial! Dia juga ada di sini?
“Mas, gue cari-cari lo jug… Eh ada Agni!”
Agni mengangguk dan memaksa sebuah senyuman. Askar ternyata hadir di pesta ini juga. “Hai,”
“Hmm, makin cantik aja kamu, Ni!”
Huh, playboy berulah!
“Lama kan ya kita nggak ketemu. Terakhir ketemu di kantor Mas Azka, tapi nggak lama ngobrol,”
Agni hanya mengangguk mengiyakan kata-kata Askar. Sungguh, ia tak berminat meladeni lelaki itu.
Sangat-sangat tak berminat.
***
selanjutnya di sini




1 komentar: