Jumat, 18 Desember 2015

[Cerpen] Sesal



Sesal


“Mama,”

“Hmm,”

“Ma, main yuk!”

“Main sama Mbak Hasna aja, Ra.”

“Maunya main sama Mama,”

“…,”

“Ma!”

“Apa sih, Sayang?”

“Ma, dengerin aku dong! aku kan kan lagi ngomong.”

Tatiana menghela nafas gusar. Ia menoleh dan menemukan raut wajah putrinya yang bertekuk. Gadis cilik tujuh tahun itu duduk bersila di sofa di sebelahnya dengan tangan bersidekap di dada dan bibir mencebik kesal.

“Kenapa sih, Ra. Mama lagi sibuk ini.”

“Mama sibuk terus, ih!”

Tatiana memijit kedua pelipisnya. Seiranya semakin besar jadi semakin sering memprotes semua aktivitasnya. Padahal dulu anak ini selalu baik- baik saja, bahkan jika dirinya harus pergi ke luar kota Seira tetap anteng meski hanya bersama Bi Minah, pembantu rumah tangganya atau Hasna, baby sitternya sejak kecil.

“Seira! Mama kan sibuknya sibuk kerja! Bukan sibuk yang aneh- aneh.”

“Kerja terus kerja terus!”

Tatiana menggeleng. Bibir Seira yang semakin merengut membuatnya kepalanya semakin berat. Tahu seperti ini lebih baik ia berangkat ke kantor saja walaupun tanggal merah. Setidaknya ini lebih baik, daripada di rumah selalu direcoki kehadiran Seira.

“Seira mending sana sama Bi Minah atau Mbak Hasna gih! Mama harus ngerjain ini dulu,” Ujar Tatiana tak sabar. Ia berusaha mengalihkan perhatian Seira. Layar monitor laptopnya masih menampilkan laporan keuangan yang dibuat staffnya beberapa hari lalu dan sudah menjadi tugasnya untuk mengeceknya kembali pekerjaan para staff. Bukan hal mudah pastinya, apalagi jika terkait uang perusahaan.

Selip sedikit, fatal akibatnya.

Gelengan kepala Seira membuat Tatiana mendengus gusar. Anaknya tidak tertarik apapun. “Nggak mau! Masa Seira sama Mbak Hasna Bi Minah terus, Seira maunya sama mama.”

“SEIRA!” Emosi mulai merambati Tatiana, ia tak habis pikir dengan kemanjaan gadis ciliknya. Anak ini sudah bukan balita lagi, bukan lagi masanya merajuk dan bermanja- manja tak jelas. Seira bahkan sudah duduk di kelas satu SD, seharusnya pemahaman anak ini kalau ibunya sedang bekerja dan tidak ingin diganggu itu sangat jelas. Bukan seperti saat ini.

“Mama lagi kerja! Banyak yang harus mama selesein! Ngerti!” Lanjut Tatiana dengan suara meninggi. Gurat marah tak dapat disembunyikan di wajahnya. Ia benar- benar frustasi karena sikap Seira.

“Sekarang kamu keluar dari ruang kerja mama, main sama Mbak Hasna atau Bi Minah sana!” Katanya lagi dengan mengabaikan mimik sedih Seira. Tatiana kembali memfokuskan diri ke layar laptopnya, ia mengeraskan hati biar bagaimanapun Seira harus belajar untuk tumbuh dewasa. Tidak terus- terusan merajuk jika keinginannya tak terpenuhi.

Dan beberapa menit kemudian ia dapat menghembuskan nafas lega karena merasakan Seira beranjak turun dari sofa yang didudukinya. Lalu melangkah keluar meninggalkan ruangan.

Well, saatnya bekerja!

***

“Se…Sei…ra,”

Tatiana tergugu di tempatnya. Air mata terus mengalir tiada henti. Pemandangan dari balik kaca tempatnya berdiri mengiris hatinya. Menyakitkan jiwa. Ia bahkan nyaris tak dapat bernafas. Tubuhnya terasa lunglai. Lemas seketika.

Seira, gadis kecilnya kini terbaring lemah tak berdaya di atas ranjang rumah sakit. Pada beberapa tubuhnya terpasang selang dan alat guna menunjang hidupnya. Matanya yang terpejam membuat hati Tatiana semakin pilu.

Bangun, Nak! Mama disini. Mama janji kalau kamu bangun mama akan temani kamu main. Kapanpun. Dimanapun.
Tatiana nelangsa, hati ibu mana tak terluka melihat keadaan anaknya tak berdaya seperti itu. Seiranya adalah anak yang aktif, lincah dan periang. Apapun yang dilakukan gadis cilik itu selalu mengundang decak kagum dan tawa di sekitarnya. Tetapi kini melihat Seira tak berdaya, hidup mengandalkan alat- alat buatan manusia membuat Tatiana semakin dirundung kesedihan tak terperi.

Mengapa harus ia yang mengalaminya, Tuhan? Mengapa bukan aku saja?

Tatiana menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Tangisnya makin tak terkendali. Kesedihan, kepedihan yang ia rasakan bersamaan dengan rasa bersalah yang menggelayuti dirinya. Semua salahnya. Salahnya sebagai ibu yang terlalu egois, memetingkan diri sendiri hingga tanpa sadar menelantarkan putrinya sendiri.

Maafin mama, Sayang!
Kalau ada mesin waktu, Tatiana ingin kembali ke waktu itu. Waktu dimana awal mula terjadi semua kesakitan ini. Hari yang paling dibencinya. Hari yang disesalinya seumur hidupnya serta hari dimana ia menjadi orang terjahat sedunia.

Maaf, Nak. Maafkan mama, Seira!
***



Tatiana merenggangkan kedua tangannya ke atas. Akhirnya selesai juga, gumamnya dalam hati.

Diliriknya jam di atas meja kerjanya. Pukul 15.00 WIB. Tak terasa sudah hampir tiga jam ternyata ia menghabiskan waktu menyelesaikan semua pekerjaannya.

Tok. Tok.

Tatiana menoleh. “Iya, masuk aja!” Katanya.

Sosok perempuan muda muncul dibalik pintu. Hasna, pengasuh anaknya . Sesaat kepalanya menunduk. “Maaf Bu, sekarang saatnya Mbak Seira les musik.”

Tatiana mengangguk, “Oh ya udah les aja!”

Hasna mengangguk perlahan, lalu matanya mengitari ruangan majikannya. Ia tertegun sejenak.

“Kenapa masih disitu?” Teguran Tatiana membuat jantung Hasna berdetak tak beraturan.

“Mm…mbak Se…seiranya mana, Bu?”

Tatiana mengernyit. Ia bingung dengan pertanyaan Hasna, “Maksud kamu?”

“Tta…tadikan Mbak Seira disini, Bu.”

Tatiana menggeleng, “Seira sudah keluar dari tadi, Hasna!”

“Ma..maksud ibu Mbak Seira pergi sama Bapak?”

Tatiana menggeleng lagi, “Bapak kan lagi di luar kota, Na. Nggak tadi itu saya suruh Seira keluar. Main sama kamu apa Bi Minah. Habisnya dia ganggu saya kerja.”

Wajah Hasna pias seketika. Sejak beberapa jam lalu ia belum bertemu Seira. Terakhir ia melihat anak majikannya itu masuk ke ruang kerja ibunya setelah makan siang. Dan sejak itu dia belum melihat sama sekali gadis kecil asuhannya itu. Dirinya cukup maklum, mungkin anak itu menginginkan menghabiskan hari liburnya dengan ibunya yang kebetulan juga ada di rumah.

“Kenapa, Na?” Mata Tatiana memincing curiga. Ia menangkap gelagat aneh dari pengasuh anaknya.

“I…itu, Bu!” Tatiana makin curiga, “Mm…mbak Seira…,”

“Iya kenapa Seira?” Tanya Tatiana tak sabar. Tiba- tiba perasaan tak enak menghampiri dirinya.

“Ssa..saya belum lihat Mbak Seira, Bu!”

“Maksud kamu?” Tanpa sadar Seira sudah beranjak dari kursinya. Ia mendekati Hasna yang berdiri di depan pintu.

“Ssa…ya lihat mbak Seira terakhir waktu masuk ruangan ibu.”

Tatiana terhenyak. Itu berarti sekitar tiga jam sejak ia mengusir Seira dari ruangannya, Hasna tak mengetahui keberadaan Seira.

“Cari Seira di sekeliling rumah! Suruh Bi Minah juga Mardi! Suruh tanya di sekitar tetangga lihat Seira nggak!” Perintah Tatiana cepat.

“I…iya, Bu!” Hasna bergerak cepat melakukan perintah Tatiana. Sesegera mungkin ia menemukan keberadaan anak majikannya. Dalam hati ia berdoa, Seira baik- baik saja.

Sesaat setelah kepergian Hasna, dengan setengah berlari Tatiana menuju kamar anaknya. Mungkin saja gadis kecilnya bersembunyi di kamarnya sendiri tanpa diketahui pengasuhnya, harapnya dalam hati.

“Seira, Seira!” Panggilnya saat membuka kamar anaknya. Dengan cepat ia menyusuri seluruh ruangan. Menyibak selimut, melongok bawah ranjang, membuka lemari dan mengecek kamar mandi. Nihil. Sia- sia. Seira tak ada di kamarnya.

Sesaat sebelum meninggalkan kamar, matanya menangkap sebuah buku berwarna merah muda yang terbuka di atas meja belajar dengan pensil diatasnya. Tatiana mengernyit sembari meraih buku tersebut.

Diary?
Nafas Tatiana tercekat seketika saat membaca tulisan tangan di halaman yang terbuka. Bibirnya terasa kelu, matanya memanas hingga tak lama bulir air mata jatuh membasahi pipinya.

Mama marah sama Seira, Ry. Seira nakal. Ganggu mama.

Maafin Seira, Ma.
***



“Ma…” Tatiana menurunkan kedua tangannya. Ia menoleh dan menemukan Rega, suaminya telah berada di sampingnya dengan tangan kanan merengkuh bahunya.

“Jangan seperti ini!”

Air mata Tatiana tak juga berhenti. Ia kembali memandang tubuh tak berdaya Seira. “A..aku yang salah, Pa. Aku yang jahat dengan Seira. Kalau saja hari itu aku menemaninya bermain, tentunya hal ini takkan terjadi. Seira pasti sedang tertawa senang bersama kita.”

Rasa bersalah menggelayut Tatiana. Seira kecelakaan. Ternyata gadis cilik itu bermain sepeda di luar rumah. Tetapi karena tak ada orang dewasa di sekitarnya, Seira dapat melenggang bebas hingga ke jalanan luar komplek. Untung tak dapat diraih, saat Seira ditabrak oleh mobil yang dikendarai seorang pemuda dalam kondisi mabuk. Tubuh gadis itu terpental hingga menimbulkan cidera dan luka yang serius. Dan kini setelah operasi yang dilakukan untuk menyelamatkan Seira, anak itu masih belum sadar.

Sebuah usapan lembut dirasakan Tatiana, ia hanya menurut ketika laki- laki yang menikahinya menarik dirinya ke dalam pelukan. “Everything will be okay! Seira kita pasti akan sehat lagi. “ Ujar Rega lembut.

“Tapi…,”



“Percayalah! Okay!”

Tatiana terdiam sesaat. Tak lama kepalanya mengangguk perlahan. Suaminya benar. Seharusnya ia percaya dan yakin Seira akan sehat lagi. Gadis kecilnya akan bangun dari tidurnya dan berteriak memanggilnya. Seira akan merajuk memintanya menemani bermain.

Bangun, Sayang! Mama disini selalu menunggumu.

Mama janji mama akan selalu ada untukmu, Nak.

***



Lampung, Juni 2015




























4 komentar:

  1. owalaaaahhhh...

    maknyesss... jadi inget anakku...
    cepat pulang ya nak...
    ibu kangen...

    BalasHapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  3. Good post mbak, tulisan ini mengingatkan kita sebagai orang tua, untuk memperhatikan anak2 kita

    BalasHapus