Kamis, 21 April 2016

[Cerpen] Sambal Goreng Hati



Sambal goreng hati


Aku mencintai. Teramat mencintainya. Takkan kubiarkan siapapun mencintai dan memilikinya di dunia ini. Hanya aku. Hanya aku yang boleh melakukannya.

***
Mataku nyalang menatap sosok tak bernyawa di hadapanku. Akhirnya mampus juga lelaki ini. Hanya dengan mencampurkan racun yang kudapat dari apoteker langgananku, ia pun merenggang nyawa beberapa menit lalu. Ah, rasanya menyenangkan melihatnya meronta- ronta dari kesakitan. Berkali- kali dia memelas menatapku, memohon pertolongan dengan tangan tergapai. Namun kuabaikan. Aku lebih suka melihatnya seperti itu.

Tontonan yang menarik.

Perlahan aku bangkit. Tujuanku belum tercapai. Dia memang sudah mati, tapi itu belum cukup. Masih ada yang harus kulakukan. Sesuatu hal yang teramat kurindukan.

Sangat kurindu, gumamku sembari menyeringai misterius.

***

“Hmm, wangi banget!” Denada masuk ke dalam apartemennya dengan wajah sumringah. Ia melihat Tiara, sahabatnya tengah berkutat di dapur sembari bersenandung riang.

“Hai, De!” senyum Tiara saat melihat kedatangan Denada. Mereka bersahabat dekat beberapa tahun terakhir ini. Saking dekatnya, keduanya memutuskan menyewa apartemen bersama.

“Woo! Tiara masak?” Denada mengerutkan kening. “Terjadi sesuatu kah?”

Bibir Tiara mencebik. “Harus ya ada sesuatu kalau gue masak?”

“Nggak juga sih,” Denada tersenyum geli. “Tapi ngomong- ngomong enak banget? Wanginya aja sedap gini. Masak apaan?”

“Sambal goreng hati.”

Mata Denada melebar seketika. “Makanan favorit gueeee…,” pekiknya riang.

Tiara mengangguk tanpa kata.

“Udah matang belum?” tanya Denada antusias. “Lapar nih gue,”

“Bentar lagi,”

“Ya udah gue ganti baju dulu ya!” sahut Denada seraya berbalik menuju kamarnya. Dia benar- benar tak sabar.

Sepuluh menit kemudian, dia keluar dan menemukan makanan sudah tersaji di meja. Denada pun segera menempatkan dirinya di salah satu kursi, membuat Tiara mendengus geli.

“Buru- buru amat, De.” Tegurnya, “Tenang aja, itu special gue bikin buat lo kok,”

Denada tergelak. “Lo kayak nggak tahu kalau gue aja.”

Sambal goreng hati adalah makanan favorit Denada. Gadis itu sangan menyukai bagian jeroan sapi yang diolah bersama sambal merah yang menggoda selera. Dimanapun bila menemukan makanan ini, Denada akan melupakan segalanya. Termasuk diet ketat yang tengah dijalaninya.

“Hmm, enak banget. Ra.” Puji Denada sembari mengunyah. Ibu jarinya terangkat ke atas. Jago deh lo!”

Tiara mendekat dan menyodorkan segelas air putih. “Enaknya banget ya, De?”

Denada mengangguk antusias. “Banget. Banget. Banget!” senyumnya melebar. “Sering- sering lo bikin kayak gini yang ada gue gagal diet.”

“Emang lo mau gue masakin ini tiap hari?” tanya Tiara datar.

“Mau lah!”

“Diet lo?”

“Lupakan saja!” cetus Denada santai.

Tiara menggeleng sejenak. “Ngomongnya sekarang gitu, besok juga lo pasti diet lagi,” cibirnya.

Denada tergelak. “Tapi kalau masakan seenak ini, mana bisa gue tolak, Ra.”

Tiara diam. Ia memperhatikan Denada yang makan dengan lahap. Sahabatnya itu benar- benar menyukai masakannya.

“By the way, Radit apa kabar?”

Denada mendongak lalu bahunya mengendik. “Mana gue tahu lah, Ra.”

Mata Tiara menyipit. “Bukannya kalian lagi dekat. Semalam Radit ngajakin lo dinner kan?”

Denada mengangguk sekilas. “Iya. Dia bawa gue ke tempat yang mewah banget, Ra. Hemm, orang banyak duit itu emang enak ya.”

“Terus gimana?”

“Dia nembak gue untuk jadi pacarnya,”

“Lo terima kan?” tebak Tiara kemudian.

“Kata siapa?”

Kening Tiara mengernyit saat mendengar jawaban Denada.

“Gue nggak nerima dia, Ra.” Lanjut Denada yang membuat Tiara terbelalak tak percaya.

“L—lo to—lak?”

Denada mengangguk. “Iya.”

“Ke—kenapa?”

“Gue nggak suka. Well dia emang tajir, baik dan perhatian tapi ternyata nggak cukup buat menyentuh hati gue. Intinya gue nggak cinta lah,” jelas Denada.

“Gue pikir lo terima,” gumam Tiara pelan namun masih bisa didengar Denada.

“Cinta buat gue nggak melulu soal materi, Tiara sayang.” ungkap Denada. “Udah ah, malah bahas Radit. Mending bahas masakan lo yang enak banget ini. Ajarin gue dong!”

“Masakan lo beneran enak, Ra. Bumbunya pas, hatinya juga nggak keras. Enak dikunyah. Lo benar- benar top deh!” sambung Denada kembali.

“Beneran enak?”

“Ck, kan gue udah bilang berkali- kali. Sambal goreng hati bikinan lo emang aseli enak. Ahh, nggak nolak gue suruh ngabisin sepiring ini,”

“Abisin aja!”

Denada melongo sesaat. “Serius boleh gue abisin?”

Tiara mengangguk dan Denada bersorak kemudian. Jelas dia girang bukan main.

“Lo nggak penasaran kenapa seenak itu, De?” tanya Tiara tiba- tiba.

“Kan lo jago masak. Ngapain gue penasaran.” balas Denada acuh. Ia kembali mengunyah makanan.

“Itu hatinya special lo, De!”

“Oh ya,” kedua alis Denada bertaut. “Mahal pastinya ya? Beli dimana emangnya? Gue beliin sini. Tapi lo yang masak ya?”

“Itu hati pria yang kau tolak semalam.”

Denada menghentikan suapannya. Ia mengernyit menatap Tiara. Wajah gadis itu terlihat datar dan dingin. “Maksud lo?”

“Itu hati milik Radit.”

***

Lampung, 20 april 2016

[ISL]



Note. Imajinasi melebar dari fiksi mini milik mbak Putri Apriani. Hahahaa… satu utang terselesaikan yo, Mbak. Kurang lebihnya mohon maaf…




0 komentar:

Posting Komentar