Minggu, 19 Juni 2016

[Cermin] Merasa Tak Dihargai

gambar diambil dari www.katabangdel.com


“Makan, Pak!”

“Nanti, Bu.”

“Kok nanti?”

“Masih kenyang.”

“Masih kenyang? Bapak makan dimana tadi?”

Perasaanku tiba-tiba menjadi tak enak. Aku baru saja hendak membuka mulut menjawab pertanyaan istriku, ketika suara istriku kembali terdengar.

“Hem, gitu ya Bapak udah nggak mau makan masakan ibu. Masakan ibu udah nggak enak ya, Pak. Ck, gimana mau enak kalau bapak ngasih uang belanja sedikit. Apa-apa sekarang mahal, Pak. Ibu itu harus pintar-pintar ngatur biar kita bisa makan.”

“Bapak juga sih kebanyakan nganggur di rumah. Kerja toh, Pak. Cari duit yang banyak!”

Deg.

Hatiku terasa sakit mendengar kata-kata yang diucapkan istriku. Jelas apa yang dia katakannya sangat menyakitkan. Aku bukan lelaki pengangguran seperti yang dituduhkan. Aku masih bertanggungjawab penuh dalam menafkahi keluarga. Memang penghasilanku saat ini tak seperti dulu, tapi toh sebenarnya masih mencukupi kebutuhan kami sekeluarga.

Perkenalkan namaku Rasyid. Aku merupakan seorang suami dan ayah dua orang anak yang sudah beranjak dewasa. Enam bulan lalu, aku mengalami PHK. Usia serta ijazah yang hanya lulus SMA tak bisa membuatku diterima bekerja di perusahaan lain. Aku kalah saing dengan para pemuda yang usianya jauh lebih muda dan pendidikan lebih tinggi. Sejujurnya di awal uang pesangon dari perusahaan kubuat untuk modal usaha membuka warung kelontong di depan rumah. Sayangnya untung yang dihasilkan tak seberapa. Kebutuhan hidup yang semakin membesar, membuat modal ikut terpakai sehingga aku harus tetap mencari pekerjaan lain untuk mencukupi kebutuhan keluarga.

“Eh kok malah bapak bengong! Kerja, Pak kerja! Bukan malah bengong!”

Aku tersentak. Aku mendongak dan mendapati istriku yang berdiri tegak dengan berkacak pinggang di hadapanku. Aku menelan ludah susah payah. Inikah wanita yang kunikahi tujuh belas tahun silam? Wanita pemilik senyuman malu-malu saat pertama kali aku mengajaknya berkenalan.

Ya Tuhan, waktu benar-benar berlalu cepat.

Wanita manis itu kini menjelma sebagai wanita menyebalkan sekaligus menakutkan dalam kehidupanku saat ini. Tidak, aku sebenarnya tidak ingin berkata demikian tentang istriku. Biar bagaimanapun kami telah hidup bersama selama tujuh belas tahun. Dia sudah memberiku dua anak yang manis dan telah mengurus serta merawat keduanya hingga saat ini. sungguh, aku berterima kasih untuk itu.

“Bapak tahu nggak sih kemarin Santi kemari. Ck, adikmu itu kesini cuma pamer punya cincin baru. Huh! Dikira ibu nggak bisa beli apa.”

Ini! Inilah penyakit hati yang mendera istriku sejak dulu. Dulu mungkin aku bisa memenuhi semua keinginannya. Atas nama cinta kuberikan apapun yang menjadi kemauannya. Kini, ketika roda kehidupan kami dibawah, jelas kebutuhan itu sulit kupenuhi. Sekeluarga tak kelaparan serta anak-anak bisa sekolah saja sudah bersyukur. Tak perlu hal muluk-muluk lainnya. Tapi sayang istriku sama sekali belum bisa menerima kehidupan kami. Ia selalu mengeluhkan pendapatanku yang katanya tak bisa memenuhi kebutuhan keluarga. Padahal nyatanya…

Ah, sebagai lelaki dan suami aku merasa tak dihargai.

Sudah dua bulan ini aku bekerja menjadi kuli bangunan. Kupikir ini selama pekerjaan halal akan kulakoni, yang penting kami bisa makan. Toh hasilnya pun lumayan. Namun sayangnya pekerjaan merenovasi rumah telah rampung, itu berarti aku harus mencari pekerjaan lain. Sayangnya, baru seminggu aku tak bekerja istriku sudah membombardirku dengan kata-kata pedasnya. Nyaris setiap hari ia mengomel tak henti. Bukan aku saja yang menjadi korban tetapi juga anak-anak.

“BAPAK!”

Aku berjengit kaget. “Bapak itu ngelamunin apa sih? Nggak dengar ya Ibu ngomong apa dari tadi? Ya ampun, Pak. Kerjaan kok bisanya bengong ngelamun, ngelamun bengong! Bosen tahu Pak lihatnya.”

Aku menarik napas panjang, lalu beringsut dari kursi. Amarahku bisa saja meledak jika harus terus-terusan mendengar gerutuan istriku. Kalau aku boleh jujur, terkadang terbersit rasa ingin berpisah saja. Sungguh, rasanya menyesakkan diperlakukan seperti ini. Meskipun dia istriku tetap saja aku seorang laki-laki. Aku pemimpin, imam keluarga yang harus dihormati. Sekali lagi kuberitahu, aku masih bertanggungjawab penuh terhadap kebutuhan anak istriku. Aku tak pernah mangkir. Hanya saja memang penghasilanku yang tak seberapa selalu menjadi bulan-bulanan istriku.

“Eh, bapak mau kemana? Pak! Pak! Nggak sopan itu namanya. Pak!”

Aku meringis lalu menoleh. “Jangan berbicara kesopanan kalau kamu tidak belajar menghargai suamimu!”



Lampung, Juni 2016 (ISL)


2 komentar:

  1. Perempuan emang suka bawel sih, secara udah ngerjain banyak pekerjaan rumah tangga, tapi ya mestinya nggak separah itu sampe nggak menghargai suami :D

    BalasHapus