Senin, 25 Mei 2015

Romansa Puber Kedua (3)


Sebelumnya Disini

Tantri terkejut saat menyadari sosok laki- laki yang dikenalnya berdiri di pintu kamar inap anaknya. “Ma…mas Ha…ris?”
Haris mengangguk sejenak. Senyum terkembang di bibirnya. “Aku dapat kabar dari Pak Ardi tadi soal anakmu.”
“Masuk, Mas.” Tantri menyadari dirinya belum mempersilahkan Haris masuk. “Maaf, Mas. Tadi aku tak bisa di sekolah.”

Haris mengibaskan tangan kanannya. “Sudahlah! Aku kesini bukan ngomongin pekerjaan. Tetapi menengok anakmu.” Tanyanya seraya melirik seorang anak anak laki- laki muda yang terbaring di ranjang dengan kepala terbalut perban putih dan selang infus yang menggantung. Matanya terpejam sempurna membuat Haris melirik Tantri kembali.
“Masih pengaruh obat bius, Mas.”
Haris manggut- manggut. “Silahkan duduk, Mas.” Ujar Tantri dengan tangan terangkat ke arah sofa panjang di sudut ruangan. Haris pun melangkahkan kakinya diikuti Tantri di belakangnya.
“Gimana kata dokter?”
“Tulangnya ada yang retak, dan beberap luka di kepala. Sudah ditangani dokter. Butuh waktu lama pemulihan.”
“Bagaimana ceritanya?”
Tantri mengendikkan bahunya, “Belum tahu persis, Mas. Yang aku tahu bertabrakan dengan angkot. Semua masih diurus pamannya.”
Haris mengangguk kembali. “Semoga lekas sembuh dan sehat kembali.” Tantri mengangguk, “Terima kas…,”
“Ibuuuu….,”
Sebuah seruan bersamaan dengan terbukanya pintu mengagetkan keduanya. Sosok wanita muda dalam balutan seragam putih- putihmuncul dibalik pintu. Wajahnya memerah dengan nafas terengah- engah. Tantri bergerak cepat mendekati gadis tersebut dan memeluknya. “Galang gimana, Bu? Galang nggak papa kan?”
Tantri tersenyum dan mengurai pelukan. “Ssstt, itu lagi tidur.” Katanya sambil mengarahkan pandangan ke ranjang. Gadis itu mengikuti arah pandangan Tantri. Wajah paniknya berganti sendu. Ia berjalan mendekati adiknya. “Kata dokter gimana, Bu?”
“Udah nggak papa,” Tantri tersenyum lembut. Anak sulungnya memang peduli dan perhatian. Apalagi jika berhubungan dengan adiknya. “Kamu nggak kuliah?” Tanya Tantri saat menyadari pakaian yang dikenakan putrinya.
Gadis itu menggeleng. “Pas dikabarin om Yuda, aku lagi ada kelas. Ya kutinggalin, Bu.” Jawabnya. “Aku aja nggak sempat pulang ke kostan, ambil baju.”
Tantri hanya mengangguk. Tak tahu harus berkata apa. Kuliah memang penting tetapi keluarga tetap segalanya.
“Ehm,” Kontan kedua ibu beranak itu menoleh. “Aku pulang dulu kalau gitu. “ Pamit Haris yang sudah beranjak dari sofa yang diduduki.
Lagi- lagi Tantri mengangguk. “Oh iya, terima kasih, Mas.”
“Semoga cepat sembuh.” Senyum Haris, “Dan aku permisi dulu.”
Tantri berjalan menghampiri Haris, “Terima kasih, Mas. Dan maaf tadi di sekolah.”
“Sudah, tak usah di pikirkan,” Haris melirik gadis muda itu “Dan…”
“Gania,” Tantri menyadari kebingungan Haris.
“Dan Gania, saya permisi dulu.”
Gania -gadis muda itu- menoleh. Sedikit mengernyit pada Haris. Belum pernah ia melihat laki- laki ini. Tapi melihat seragam yang dikenakan, mungkin teman kerja ibunya. “Oh  iya, Om. Terima kasih.”
Haris mengangguk dan melangkah meninggalkan ruangan diikuti Tantri di belakangnya. “Maaf aku kesini nggak bawa apa- apa,” Langkahnya terhenti tepat setelah keluar kamar. “Tadi setelah dari sekolah aku langsung kesini.”
“Mas sudah kesini saja sudah bersyukur. Terima kasih loh, Mas.”
Kepala Haris mengangguk. “Tadi anak sulungmu?”
“Iya.”
“Perawat? Atau bidan?”
“Masih kuliah, Mas di Akper di kota sebelah.”
Mulut Haris membulat. Sesaat kepalanya menoleh ke kanan dan kiri, “Ngomong- ngomong suamimu mana?”
Tantri menghela nafas panjang lalu menghembuskannya perlahan, “Sudah meninggal, Mas.”
Raut keterkejutan terlihat jelas di wajah Haris. Namun sedetik kemudian ia merubah ekspresi wajahnya. “Maaf aku tidak tahu,”
“Nggak  papa. Sudah lama juga kok. ”
“Berapa lama?”
“Lima tahun.” Suara Tantri lirih. Entah mengapa mendengar suara Tantri yang sarat kesedihan membuat dirinya ikut sedih. Ada yang mengiris di hatinya.
“Maaf, Tan.” Tantri tersenyum tipis. “Baiklah kalau begitu aku permisi.”
Tantri mengangguk. “Sekali lagi terima kasih, Mas untuk kedatangannya.”
Haris terkekeh, “Kamu terlalu formal amat sih, Tan. Sudah biasa saja. Teman lama ini.” katanya lagi, “Ya sudah, aku permisi pulang.” Lanjutnya sambil melangkah meninggalkan Tantri sesaat setelah mengucap salam terlebih dahulu.
Setelah Haris hilang dari pandangannya, Tantri baru masuk kembali ke dalam kamar rawat anaknya. “Teman ibu?” Pertanyaan Gania menyambutnya kemudian.
Tantri hanya mengangguk. Tak berminat berkata apapun.  Kedatangan Haris sudah cukup mengusik pikirannya. Laki- laki yang pernah memenuhi harinya di masa lalu itu kembali datang. Beberapa minggu lalu ia terkejut mendapati Haris sebagai kepala dinas yang baru. Itu berarti memungkinkannya bertemu dan berinteraksi lebih sering.
Ah, mengapa kami bertemu kembali, Tuhan!
-tbc-

Selanjutnya Disini

4 komentar:

  1. heeemm pasti harris kek berasa ada harapan lagi...ehhh :D

    lanjooot mbak ^^9

    BalasHapus
  2. Lha, Haris-nya udah/masih punya istri apa enggak nih? Lanjooot...

    BalasHapus