Sabtu, 23 Mei 2015

Romansa Puber Kedua (2)


Sebelumnya Disini 

Haris tersenyum lebar saat menginjakkan kakinya di halaman sebuah sekolah yang tampak rindang dan asri. Khas seorang Tantri, gumamnya dalam hati. Ia tersenyum tipis. Dirinya masih ingat betul hobi berkebun seorang Tantri. Dimanapun dan apapun jika Tantri yang menanam pasti akan tumbuh subur.
“Tanaman itu makhluk hidup, Mas. Ia pasti bisa merasakan kita menyayanginya atau tidak.”
Saat itu Haris hanya dapat memutar bola matanya jengah. Kesekian kalinya ia menemukan sang kekasih asyik berkutat dengan tanaman,  bukannya bersiap untuk pergi bersamanya untuk menonton pagelaran wayang di alun- alun. Terang ia mengeluhkan perilaku Tantri.
“Ojo manyun to, Mas. “ Sebuah senyuman tersungging di bibir Tantri. Senyuman yang seketika menghangatkan hatinya. Melumerkan amarahnya. “Aku siap- siap dulu. Nggak papakan nunggu?”

Haris hanya mengangguk perlahan. Demi apapun, senyum Tantri adalah kelemahannya sekaligus kebahagiannya. Hanya sebuah senyuman, namun menjungkirbalikkan dunianya.
“Selamat datang, Pak Haris!” Sebuah suara menyentakkan kesadaran Haris. Seorang laki- laki berusia awal 40an berdiri di depannya. Haris tersenyum. Mungkin salah seorang guru di sini.
“Saya Ardi, Pak.”  Ujar Ardi sembari mengulurkan tangannya.
“Haris. Haris Rudianto.” Haris menjabat tangan Ardi.
“Tadi ibu pesan bapak mau kesini. “
“Ibu?” Kening Haris mengernyit.
Ardi mengangguk. “Ibu Tantri, ibu kepala sekolah. “
Sesaat Haris terkejut, namun secepatnya ia merubah kembali ekspresi wajahnya kembali datar. “Oh, kepala sekolahnya tidak ada?”
“Maaf, Pak. Mohon maaf sekali lagi. Tadi Ibu Tantri dapat kabar anaknya kecelakaan jadi beliau harus segera ke rumah sakit.”
“Kecelakaan? Dimana? Bagaimana?” Kali ini wajah terkejutnya tak dapat lagi tertutupi. Panik ikut melandanya.
“Di RSUD, Pak. Tapi tadi barusan ibu telepon sudah dalam perawatan dokter.  Ibu meminta saya menyampaikan permohonan maaf tidak dapat menyambut bapak.”
Haris manggut- manggut. Dihela nafasnya dalam- dalam. Sedikit menenangkan hatinya yang turut resah karena berita yang disampaikan Pak Ardi. Ingin rasanya ia berlari ke rumah sakit sekarang. Melihat keadaan Tantri, wanita itu pasti sedang membutuhkan dukungan dan semangat.  Dia pasti butuh sandaran agar tetap kuat menghadapi masalah yang menimpanya.
Mendadak Haris tersenyum kecut. Ia lupa kalau Tantri sekarang bukanlah Tantri yang dulu. Itu anak Tantri yang kecelakaan berarti disana pasti ada ayahnya juga. Suami Tantri.
Ah Haris, apa yang kamu pikirkan? Stoplah berfikir tentang Tantri.
“Mari, Pak saya antar keliling sekolah kami.”
 Haris mengangguk. Ia harus professional. Bukankah ia kesini memang dalam rangka kunjungan kerja. Sebagai kepala dinas yang baru ia memang harus mengenal sekolah- sekolah yang berada dalam naungan dinas yang dipimpinnya.
Sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui. Hatinya bersorak bahagia saat jadwal hari ini adalah mengunjungi SD 4, tempat dinas Tantri. Itu berarti ia bisa bertemu dengan Tantri. Pertemuan kedua setelah pertemuan pertama dua minggu lalu. Tetapi sayang, harapnya sia- sia karena ternyata Tantri tak ada di sekolah.
Stop! Stop! Stop Haris!
Tantri bukan lagi milikmu!
-tbc-

3 komentar:

  1. hai mbak Imassssss,.... ternyata bersarang disini yaaaa.... :D nice story.... lanjutnya kapan nih?

    BalasHapus
  2. Hehehee, iyaaaa mbak. Kalo post bakal di Tag kok.

    BalasHapus
  3. bner2 belom kelar sepertinya harris ya hemmm

    BalasHapus