Minggu, 28 Juni 2015

ANDARA

Andara

Andara mematut bayangan dirinya di depan cermin raksasa seukuran dirinya. Memastikan penampilannya kembali. Dress selulut tanpa lengan berwarna peach terlihat pas membungkus lekuk tubuhnya. Rambut panjang hitam lurusnya di biarkan tergerai menampilkan kesan manis dan menggemaskan. Tak lama diambilnya stiletto berwarna silver dari lemari yang berada di sisi sebelah kanan kaca. Dipasangkannya pada kaki panjang mulus miliknya. Ia tersenyum.

Sempurna, ucapnya dalam hati.

***

Matanya nanar menatap beberapa foto yang berada di tangannya. Kepalanya menggeleng beberapa kali. Tidak, tidak mungkin! jeritnya dalam hati. Tanpa disadari air mata sudah mengalir membasahi pipi. Sia- sia sudah semuanya. Sia- sia pengorbanannya selama ini.

Dirabanya dada sebelah kiri.

Sakit. Perih.

Inikah rasanya terluka?

***

“Kamu cantik banget hari ini!”

Andara tersenyum, “Hanya hari ini?”

Lelaki dihadapannya tertawa, “Tentu saja setiap hari, Sayang!” Ujarnya sambil mengedipkan sebelah matanya membuat Andara mencebikkan bibirnya.

“Gombal,”

“Tapi kamu suka kan?”

Rona merah seketika menghiasi pipi putih Andara, masih seperti dulu ternyata.

“Kamu nggak berubah ya, Vin?” Andara tersenyum simpul, “Playboy!” Lanjutnya lagi. Namun harus ia akui, ia selalu merindukan saat seperti ini. Senyum, tawa dan kalimat rayuan yang meluncur dari bibir Arvin.

Arvin, lelaki itu tertawa lebar. Entah mengapa berhadapan dengan Andara selalu membuatnya bahagia. Lepas dan bebas.

“Hei, aku bukan playboy hanya ya… banyak wanita terpesona padaku,”

Andara mencibir mendengarnya, “Bukankah aku memang tampan?” Lanjut Arvin percaya diri yang membuat Andara makin memajukan bibirnya.

“Terserah kau lah,”

“Tetapi kesetiaanku tak perlu diragukan!”

Andara mendengus, namun jauh didalam hatinya ia mengakui perkataan Arvin. Arvin memang tampan, ia disukai banyak wanita. Bahkan beberapa diantaranya mengaku-ngaku sebagai kekasih lelaki itu. Hingga akhirnya tersematlah predikat playboy padanya. Namun ketika Arvin jatuh cinta, ia benar- benar membuktikan kesetiaannya. Hanya satu wanita. Wanita yang beruntung, bukan?

Dan itu dirinya! ***

“Jadi kapan lo dan Arvin menikah?”

Andara tersenyum mendengar pertanyaan yang dilontarkan Orlin, sahabatnya. Menikah? Sejenak angannya menerawang. Ia dengan balutan kebaya putih yang indah dan Arvin tampil mempesona dalam balutan jas hitam saling tersenyum mesra. Mengumbar kebahagiaan.

“Hei, wake up, baby!” tegur Orlin karena menyadari bukan menjawab pertanyaannya justru Andara senyum- senyum sendiri, “Mikir aneh deh!” sungutnya sebal.

Andara terkekeh melihat ekspresi yang ditunjukkan Orlin, “Suka- suka gue, dong!” jawabnya disela tawanya, “Makanya cari pacar sono!”

Orlin mendelik, “Rese ah! Gue tanya apa elo jawab apa!”

Andara semakin tertawa melihat ekspresi kekesalan Orlin, bahagia itu sederhana termasuk menggoda sahabatmu sendiri.

“Dara!” Suara Orlin sedikit keras, “Serius!”

Seketika Andara menghentikan tawanya, ia tahu sahabatnya ini sedikit sensitif bila menyangkut pasangan. Maklum lama menjomblo.

“Oke, oke! Fine!”

“Jadi?”

Kali ini Andara yang mendelik, ternyata Orlin masih menanti jawaban. Ia menarik nafasnya panjang, “Gue juga pengen secepatnya tapi Arvin belum ngelamar gue!”

“Padahal kalian sudah lama pacaran kan? Masa` sih Arvin belum berfikir serius?”

Andara mengendikkan kedua bahunya. Entahlah,

“Jangan- jangan…,”

Perkataan Orlin yang menggantung membuat Andara mengernyitkan keningnya, “Jangan mikir aneh tentang Arvin, Lin!” Ungkap Andara sedikit tak nyaman.

Orlin menatap Andara, “Sorry Dara, cuma gue realistis aja! Kalian LDRan begini dan jangan lupakan fakta cowok lo ganteng punya banyak penggemar! Dan…”

“Iya, gue ngerti!” sahutnya pelan, “Tetapi mau gimana lagi, gue harus percaya sama dia!”

Orlin menganggukkan kepalanya, lalu merengkuh bahu sahabatnya, “Sabar ya, Dear! Kalau emang dia jodoh lo kalian pasti akan bersatu lagi,”

***

“Kamu yakin?”

Lelaki berkacamata hitam itu menganggukkan kepala. Tak lama mengambil sebuah amplop dan meletakkannya di meja.

Perempuan cantik di depannya mengernyitkan dahi sejenak.

“Semua bukti- buktinya ada disini, Bu!” Ucap lelaki itu kembali.

“Oh. Oke!” Giliran perempuan muda itu yang mengambil amplop berwarna cokelat dalam tasnya, “Terima kasih,” ujarnya kemudian sambil menyerahkan amplop tersebut.

Lelaki itu mengangguk lalu berdiri, “Kalau begitu saya permisi dulu, Bu!”

Ia pun berbalik pergi meninggalkan perempuan yang masih tercenung menatap amplop yang ditinggalkan di meja.

Inikah hasil kecurigaannya selama ini? ***

Andara terpana sesaat. Di hadapannya kini berdiri seorang wanita dengan kecantikan yang membuat siapapun terpesona. Wajahnya putih mulus tanpa noda benar- benar membuat iri dirinya. Tak ada satupun jerawat yang bertengger. Hidungnya yang mancung serta bibir mungil membuat wajahnya semakin memikat.

Uh, aku yang perempuan saja terkesima dengan kecantikannya apalagi yang para pria.

“Ehm,”

Deheman wanita itu menyentakkan kesadaran Andara.

“Anda yang bernama Andara?”

Spontan Andara menganggukkan kepalanya, “Dan anda?”

“Saya Aileen,” Wanita itu menyebutkan namanya. Suaranya lembut namun aura tegas masih terpancar di dalamnya. Andara dapat merasakannya. Apalagi tatapan wanita itu padanya, ada yang tak biasa dari pandangan itu padanya.

“Boleh saya duduk?”

“Oh iya, iya. Silahkan!” Andara sedikit gugup. Entah mengapa ia merasa wanita dihadapannya sangat mengintimidasi dirinya.

“Ada yang bisa saya bantu, Bu?” Andara basa- basi bertanya. Seperti biasanya. Pekerjaannya selalu menuntutnya untuk ramah pada siapapun orang. Siapa tahu orang tersebut tertarik untuk bekerjasama dengan event organizer yang dimilikinya.

“Untuk pesta apa kalau boleh tahu?” Tanyanya lagi.

“Arvin,”

Aileen menyebutkan sebuah nama yang membuat Andara membeku.

Arvin? Kekasihnya?

Siapa perempuan ini?

Mendadak perasaan tak nyaman melingkupi Andara. Kepalanya dipenuhi tanda tanya. Namun ditahannya rasa penasaran.

“Maaf?”

Aileen menghela nafas dalam, “Kamu mengenalnya bukan?”

“Iya. Dan maaf anda siapa?”

“Kalian berhubungan?”

“Maaf,”

“Kalian berpacaran?”

Andara terdiam. Matanya menatap lekat mata Aileen. Sorot dingin dan terluka jelas terlihat. Andara semakin tak nyaman. Mungkinkah Arvin selingkuh?

“Arvin menjanjikan apa padamu?” Andara mencoba menenangkan dirinya sendiri. Sungguh ia pun semakin penasaran dengan wanita di depannya.

Aileen menggeleng, “Terlalu banyak yang ia janjikan,”

Blass Andara pias. Ia tenganga. Hancur sudah.

Arvin selingkuh. Dan selingkuhannya kini tepat berada di depannya.

“Lalu apa maumu?” tanya Andara tajam. Sungguh ia tak mau kalah dengan wanita di hadapannya. Arvin miliknya.

“Kamu menginginkan kami berpisah. Lalu kalian menikah. Begitu!” Emosi Andara sedikit meluap. Kepalanya berdenyut memikirkan nasib hubungannya dengan Arvin. Sungguh ia sangat mencintai laki- laki itu.

Aileen menggeleng perlahan, “Justru aku hanya ingin memastikan,”

“Maksudmu?” Kening Andara berkerut.

“Apakah Arvin bahagia bersamamu?”

“Tentu,” jawab Andara singkat. Ia sangat yakin dirinyalah sumber kebahagiaan Arvin. Seperti yang sering Arvin katakan padanya.

“Baik kalau begitu,” Aileen berdiri tegak, “Kalau denganmu dia bahagia. Maka dengan segera kami akan bercerai,”

“Ce…rai…”

Mendadak kerja otak Andara melambat. Ia masih terpaku dengan kalimat terakhir Aileen. Tanpa ia sadari Aileen sudah berbalik dan melangkah meninggalkan ruangannya.

“Tunggu!”

Suara Andara yang bergetar menghentikan Aileen yang baru meraih kenop pintu. Aileen terdiam. Namun tak berniat membalikkan tubuhnya. Sungguh ia sangat terluka. Mendapati kenyataan suaminya, Arvin berhubungan dengan wanita lain dan wanita itu membawa kebahagiaan sangat menyakitkan dirinya.

“Ka…kapan kalian me…nikah?” Andara ragu bertanya namun ditepisnya. Ia harus tahu semuanya.

“Tahun lalu,” Aileen menjawab cepat, “Sudahlah! Semua akan diakhiri. Dan kalian dapat hidup berbahagia. Permisi!”

Aileen pun bergegas membuka pintu. Tanpa menoleh ia meninggalkan Andara yang masih terkejut mendapati fakta tentang Arvin, lelaki yang dicintainya.

Tanpa Aileen sadari, Andara pun sama terlukanya. Sebutir air mata lolos membasahi pipinya. Perih.

-end-
Lampung, November 2014

2 komentar: