Senin, 03 Agustus 2015

SWEET REVENGE


“Sayang, Kamu tahukan aku cinta sama kamu.”

Kepalaku mengangguk. Mengiyakan dalam hati.

“Cinta banget malah.”

I know,” Ucapku sembari manggut- manggut.

“Tapi kenapa ujian cintamu sangat berat,”

Tawaku nyaris menyembur saat mendengar kalimatnya barusan. Namun sebisa mungkin kutahan. Tidak, rencana ini tak boleh gagal.

Salah siapa menelantarkanku beberapa hari ini.“Yuk!” Aku menarik tangannya. Sekilas kulirik wajahnya yang terlihat sangat frustasi. Terang ia menolak melakukannya, tetapi ia juga tak bisa tak melakukannya.

Intinya wajib. Harus. Musti. Kudu.

“Ingat ya aku cuma sampai pos satu, selanjutnya kamu sendiri.”

“Nggak bisa didiskon tah, Yang?”

“Apanya?”

“Itu posnya. Nggak harus sampe atas juga kan?”

Melihat mimik wajahnya yang terlihat menderita sejujurnya aku tak tega. Terbersit ragu. Tapi sebisa mungkin aku menguatkan diri. Harus. Harus.

Ingat kelakuannya beberapa hari ini!Aku berhenti sejenak. Kepalaku menggeleng pelan. Ekspresi wajahku berubah sendu. Perlahan aku mengusap perutku berulang kali. “Masa kamu tega sama…,”

“Oke, oke, Sayang. Aku pasti lakuin!”

Yes! Teriakku dalam hati. Mengubah ekspresi menjadi sendu memang salah satu caraku merajuk. Cara yang seketika membuatnya luluh. Cih, drama queen.“Makasih ya, Sayang!” Ucapku dengan nada dibuat- buat. Kucium pipinya sekilas untuk melengkapi aktingku. Waw, aku berbakat kan jadi artis?

Dia tersenyum tipis lalu mengusap kepalaku perlahan, “Anything! For you and my baby!”

Uhuk. So sweet. Romantis!

Nyaris hatiku meleleh mendengarnya namun cepat- cepat aku menggeleng. No rayuan gombal!

“Ya udah yuk jalan!” Katanya. Kini ia yang menarik tanganku. Menggenggam jemariku erat- erat. Genggaman hangat yang membuatku merasa terlindungi. Selalu terlindungi.

Kami berjalan dalam diam. Sesekali aku berhenti untuk memotret. Entah itu memotret pemandangan di sekitar atau dia yang memotretku. Tempat seindah ini tentu sangat disayangkan jika tak terekam kameraku.

Setidaknya akan menjadi cerita. Aku pernah kemari.

“Kita sampai,” katanya kemudian. Aku mengangguk dan tersenyum lebar.

“Berarti selanjutnya kamu sendiri yang naik, Yang!”

Dia terdiam. Sejenak kulihat keraguan di wajahnya. Duh, nggak nggak! harus jadi.

“Kamu disini nggak papa sendirian?”

Aku mengernyit. Kepalaku menoleh ke kanan dan ke kiri. “Sendiri? Banyak orang gini!” Aku berkata benar. Di sekeliling kami memang cukup ramai. Jadi tak hanya ada aku. “Jangan cari alasan deh!” Lanjutku mencibir.

“Ya nggak gitu maksudku, Cuma beneran nggak papa? Nggak ada teman gini!”

“Kan bisa kenalan.” Sahutku enteng.
“Tapi kenalannya nggak sama laki ya!” Bibirku mengerucut. Kumat deh posesifnya. Selalu cemburu buta!

“Kalau ganteng kenapa nggak,” Dia mendelik. Aku terkikik geli. Menggodanya itu menyenangkan. “Ya udah sana naik! Keburu sore lagi.”

Dia mengangguk kemudian. Sejenak aku memeriksa ransel yang dibawanya. “Semuanya udah disini ya!” Kataku sembari menunjuk ransel. Lagi- lagi dia mengangguk.

Fighting!” Kuangkat tangan kananku lalu mengepalnya, memberikan semangat padanya. Ia tertawa melihatku lalu mengecup lembut keningku.

“Kalau ada apa- apa segera hubungi aku.” Duh, udah kayak mau pergi perang, kekehku dalam hati. Aku ingin tertawa namun urung. Aku lebih memilih menganggukkan kepala.

Aku benar- enar bisa tertawa saat tubuhnya makin terlihat menjauh dari pandanganku. Hatiku terasa puas dan lega.

Sekali- kali mengerjai suami boleh lah!Sebenarnya hal ini tak baik dilakukan, tapi mengingat kesibukannya beberapa hari lalu hingga membuatku hampir mati dilanda kebosanan tentu menjadi alasan sendiri bagiku untuk mengerjainya hari ini.

Jauh- jauh ngajak ke China cuma numpang tidur sih ngapain?Beberapa minggu lalu dia memang memberiku kejutan tiket perjalanan ke Beijing, China. Aku melompat girang karenanya. Jalan- jalan ke Beijing, siapa nolak! Rezeki nggak boleh ditolak. Eh! Dan yang menyenangkan ini tiket hanya berdua. Aku dan dia. Yah hitung- hitung honeymoon ke luar negeri.

Aku benar- benar mempersiapkan liburan ini. Apalagi dokter mengizinkan. Tak ada masalah dengan kehamilanku. Aku tentu semakin bersemangat. Kepalaku dipenuhi kegiatan- kegiatan romantic dan menyenangkan yang akan dijalani. Ah, saat itu rasanya benar- benar tak sabar.

Namun pada akhirnya rencana tinggal rencana.

Aku merasa tertipu habis- habisan. Ternyata dia kemari sekaligus ada pekerjaan yang harus ditanganinya. Pekerjaan yang menyita waktunya. Berangkat pagi dan pulang malam. Membuatku kesal luar biasa. Apalagi dia pun tak mengizinkanku untuk menelusuri penjuru Beijing.

“Nanti kamu hilang, Yang!” Alasannya saat itu, “Disini jarang ada yang bisa bahasa Inggris. Lagian kamu juga nggak lancar- lancar amat kan?”

Aku mengigit bibir bawahku. Da benar. Tetapi masa terkurung di hotel terus. “Terus kapan jalan- jalannya? Aku bosan. “

“Kalau tahu begini aku mending nggak ikut.” Fix aku merajuk. Tiga hari di hotel membuat aku benar- benar merasa sebagai tawanan. Meski sedikit lebih elite.

Dia menghembuskan nafas berat. “Besok, Yang. Aku janji besok ngajak kamu jalan- jalan.”

Aku tersenyum lebar. “Bener?”

Ia mengangguk. “Iya.”

Tapi lagi janji tinggal janji. Nyatanya sehari sesudahnya ia pulang larut malam kembali. Kekesalanku memuncak. Pada akhirnya aku memilih mendiamkannya. Dia meminta maaf setelahnya, ia tak dapat menolak ketika klien memintanya bertemu kembali. Ah, alasan!

Dan ia mengucapkan besok kembali. Tepat sehari sebelum kepulangan kami.

Janji itu memang ditepati namun aku keburu kesal. Jadi saat tadi tiba di pintu masuk tembok besar, tiba- tiba sebuah ide terlintas di benakku. Ngidampun  menjadi alasan yang kubuat.

Kapan lagi bisa mengerjainya.Berdiri tegak dan kokoh. Mengikuti lekuk pegunungan Tiongkok utara. Bangunan terpanjang yang pernah dibuat oleh umat manusia.

The Great Wall benar- benar menakjubkan.

Amazing!

Selama ini aku hanya melihat tembok besar Cina dari layar kaca atau buku- buku yang kubaca. Jujur aku mengagumi sejarah. Menyukai bagaimana orang- orang terdahulu membuat bangunan- bangunan yang membuat decak kagum. Bahkan tanpa kehebatan teknologi seperti saat ini. Dan contohnya di tempatku berpijak saat ini. Tembok Besar Cina.

Speechless.

Melihat tembok yang tersusun dari bebatuan yang melingkar dan mengular dari satu bukit ke bukit lainnya, sambung menyambung dari satu sisi gunung yang satu ke sisi gunung yang lain membuatku merinding. Entah berapa banyak darah dan keringat yang mengalir disana untuk sebuah benteng pertahanan.

Aku meringis membayangkan jutaan nyawa melayang karena hal ini.

Dengan panjang sekitar 8.850 km, Tembok Besar Cina dibangun oleh tiga dinasti, Dinasti Qin, Dinasti Han, Dinasti Ming. Namun, sebagian besar rupa tembok raksasa yang berdiri pada saat ini merupakan hasil dari periode Ming. Karena besar dan panjangnya tembok ini, dikatakan tembok cina dapat dilihat dari luar angkasa dengan mata telanjang. Bukti terawal berasal dari tulisan kolektor barang antik asal Inggris bernama William Stukeley tahun 1754 yang membandingkan Tembok Besar Cina dengan tombok yang ada di Inggris dengan menyatakan bahwa Tembok Hadrian di Inggris hanya dapat dikalahkan oleh Tembok Besar Cina, yang merupakan bangunan penting di dunia, sehingga bisa jadi terlihat dari bulan ("This mighty wall of 4 score miles in length is only exceeded by the Chinese wall, which makes a considerable figure upon the terrestrial. Seorang Richard Halliburton, petualang asal Amerika pada tahun 1938 dalam bukunya yang berjudul "Second Book of Marvels" menyatakan hal sama sehingga semakin banyak orang-orang percaya bahwa tembok raksasa dapat dilihat dari ruang angkasa.

Tetapi kenyataan itu tentunya di tepis NASA. Mitos. Melewati orbit bumi tertinggi tak ada benda di permukaan bumi yang dapat di lihat mata telanjang. Ah, entahlah aku sendiri tak tahu hal itu mitos atau bukan. Satu hal yang pasti The Great Wall benar- benar menakjubkan. Pantaslah jika mendapat gelar satu dari tujuh keajaiban dunia.

Entah sudah berapa lama aku menghabiskan waktu memandangi pemandangan di sekitar, hingga aku merasa lelah dan letih. Tiba- tiba kebosanan melandaku. Ternyata sendirian itu tak menyenangkan. Tak butuh lama bagiku untuk meraih ponsel dan menelponnya.

“Kembali sekarang!” Kuputuskan sambungan segera. Tak menunggu sahutan dari seberang karena aku memang tak membutuhkan alasan.

Hampir setengah jam berlalu ketika sosoknya tiba didepanku. Kugigit bibir bawah getir melihat penampilannya. Tampang berantakan, peluh yang membasahi bajunya dan nafas yang terengah- engah serta wajah yang terlihat cemas.

“Kamu kenapa, Yang? Kamu nggak apa- apa kan? Sakit? Sakit dimananya? Kita perlu cari dokter?”Cercanya tak henti.

Aku ternganga. Sedetik kemudia tawaku menyembur. Teleponku membuatnya mengira ada hal yang terjadi denganku sepertinya. Tiba- tiba perasaan bersalah menggelitikku membayangkan ia berlari kencang hingga tiba disini.

“Kamu ngerjain aku ya?” Matanya menyipit curiga. Aku hanya mengendikkan bahu acuh.

“Awalnya iya. Nyuruh kamu naik sampai pagoda itu." Ungkapku jujur. "Tapi berhubung aku bosan jadi nggak jadi makanya nyuruh kamu balik lagi,”

Dia menepuk jidatnya, “Astaga Yang, aku kira kamu kenapa- napa pas telepon tadi. Makanya aku lari secepat- cepatnya. Dan ternyata…,”

“Tapi sama aja ini aku dikerjain juga,”

Aku terkekeh, “Nggaklah. Tapi kalau lihat tampang kamu sih aku Cuma bilang balas dendam itu menyenangkan ternyata.”

“Balas dendam?”

Bibirku mencebik. “Salah siapa nyuekin aku di hotel berhari- hari. Mana nggak boleh pergi lagi. Aku kan bosen, Yang.”

Tiba- tiba kurasakan tubuhku ditarik ke dalam dekapannya. “Maaf.” Ujarnya kemudian. Seketika aku merasakan api amarah yang melingkupiku meleleh seketika.

“Aku minta maaf. Aku Cuma nggak mau ada apa- apa dengan kalian. Aku sayang kalian.”

Sederhana. Simple. Tetapi tetap kata- katanya berhasil membuatku berkaca- kaca. Ah, kenapa aku menjadi mendadak mellow begini.

-end-


Lampung, Agustus 2015

2 komentar: