Aluna
Cantik, satu kata yang kuungkapkan saat
pertama melihat dirinya. Matanya yang
bulat terlihat menggemaskan berpadu dengan hidung mancungnya. Wajahnya yang
mulus, nyaris tanpa cela membuatnya sangat menawan. Ia akan terlihat sempurna
jika memperlihatkan senyum dengan dua dekik lesung di pipi. Benar- benar
mempesona, batinku.
“Sejak
kejadian itu, dia seperti itu!”
Sebuah
suara sontak menyadarkanku. Aku menoleh dan mendapati seorang perempuan baya
berdiri disampingku dengan pandangan lurus ke depan. Kuanggukkan kepala, untuk
itu aku berada disini.
“Bajingan itu dengan tenang melenggang di
luar, sedangkan ia...” kalimat itu tak diteruskan karena selanjutnya hanya
terdengar isakan tangis.
Dengan
cepat kurengkuh bahu tua yang bergetar itu, “Iya Bu, saya mengerti. Sabarlah!”
Dapat
kulihat gelengan kepala dari perempuan tua itu, “Tidak, tidak ada yang
mengerti. Aluna harus menanggung derita selama ini, namun orang di luar
menghinanya. Tidak,ini tidak adil!”
Kuhela
nafas panjang, “Memang tak adil untuknya,” gumamku pelan. Nyaris tanpa suara.
***
Aluna,
nama gadis cantik itu. Tak hanya memiliki wajah rupawan, namun juga memiliki
kelembutan hati. Gadis ceria dan menyenangkan. Tetapi itu dulu. Semuanya
berubah dalam sekejap. Aluna yang sekarang jauh berbeda 1800.
“Saya
menyesal meninggalkannya malam itu, Mbak. Saya tidak tahu kalau ternyata Tuan
tega melakukan terhadap non Luna, “ Bi Inah, perempuan baya yang sedari tadi
disampingku memulai ceritanya.
Aku
menarik nafas panjang setelah mendengar cerita Bi Inah. Kesedihan
menggelayutiku.
“Alangkah
malangnya nasibmu, Lun.” Bisikku lirih seraya mengamati Aluna yang duduk
mematung di samping jendela kamarnya. Gadis cantik itu terus memandang lurus ke
depan. Kosong. Pucat. Ia benar- benar mengalami depresi. Tubuh kurusnya semakin
mempertegas tekanan hidup yang dialaminya. Hanya raganya lah yang membuktikan
ia masih bernafas hingga saat ini.
“Lelaki
itu harus dihukum, Mbak!” Ujar Bi Inah dengan keras. Aku mengerti kemarahan
melingkupi perempuan paruh baya ini. Perempuan yang menghabiskan sebagian besar
umurnya untuk membesarkan gadis itu. Bi Inah tahu benar bagaimana perubahan
besar pada sikap Aluna.
Kupandangi
lagi gadis itu. Masih tak bergeming dari kursinya. Masih tatapan yang sama.
Jauh dan tak tergapai.
Aku
menghela nafas panjang. Gadis ini benar- benar menderita.
***
“Kamu
yakin, De?”
Aku
mengangguk mantap, “Yakin, Bu!” Jawabku pada Ibu Ranti, atasanku yang kulihat
sedikit ragu.
“Tapi
ini…,” Bu Ranti ragu, aku tahu itu. Tanpa perlu ditanya aku tahu maksudnya.
“Saya
tahu, Bu. Tetapi atas nama keadilan dan kebenaran lelaki itu wajib dihukum. Tak
peduli orang penting sekalipun,” ucapku, “Walaupun sejujurnya hukuman pidana
masih tidak adil,”
“Saya
sendiri tak dapat membayangkan beban hidup yang ditanggung Aluna, Bu!”
“Ya,
saya mengerti,” kata Bu Ranti kemudian, “Tetapi kamu harus berhati- hati. Ini
berurusan dengan orang berpengaruh,”
Kuanggukkan
kepala, “Iya, saya mengerti. Terima kasih, Bu!”
***
“Lun,
kumohon! Jangan biarkan dirimu menderita sendirian. Kamu harus membuat lelaki
itu juga menderita,”
Ini
kesekian kalinya aku berbicara dengan Aluna. Tidak mudah memang. Aluna benar-
benar mengalami depresi akut karena kejadian itu. Post Traumatic Stress Disorder (PTSD). Dengan bantuan beberapa sahabat,
aku terus berupaya untuk membuat Aluna bangkit. Kami terus berusaha memotivasi
semangat hidup gadis itu. Ia masih terlalu muda, jalannya masih panjang. Masih
banyak mimpi yang harus ia raih.
Perlahan
Aluna menunjukkan perubahan. Ia mulai dapat diajak berkomunikasi. Sedikit mulai
sedikit ia berani mengungkapkan tragedi malam itu. Tragedi yang mengguncang
hidupnya.
***
Ada
gerakan kecil di ranjangnya. Aluna menyadari itu. Namun matanya masih terpejam.
Ah, mungkin saja Bi Inah yang memang biasa menemani tidurnya, pikirnya.
Tapi
tunggu dulu!
Mengapa
dirasakannya sebuah tangan meraba- raba tubuhnya. Meremas- remas dadanya dan
tangan lain mulai meraba area pahanya. Ini…
Aluna
terbelalak saat mendapati tubuh mungilnya dihimpit beban berat. Ia semakin tak
percaya saat melihat sosok yang menindihnya.
Aluna
ingin berteriak, namun tangan besar itu berhasil membungkamnya. Kedua kakinya
pun ditekan oleh tubuh besar itu. Tubuh kecilnya tak cukup kuat untuk
melepaskan diri.
Aluna
panik, ia yakin akan terjadi sesuatu. Sesuatu yang merusak dirinya. Dengan
berlinang air mata, Ia menatap sosok itu, “Jangan, jangan lakukan itu!” ia
berteriak namun suaranya tertahan.
Sreeettt,
Tidakkkkkkkk,
teriaknya lagi.
Terlambat,
Karena
pada akhirnya kesakitannya yang menghampiri tubuhnya.
***
“Jadi
gimana, Lun? Kamu siap?” Tanyaku memastikan. Sungguh, aku menyadari ini bukan
hal mudah baginya, melaporkan penjahat itu sama saja membuka aibnya sendiri.
Aluna
menatapku, “Mbak De, ini mungkin memang berat. Tapi seperti yang mbak bilang
lelaki itu harus merasakan penderitaan yang sama denganku,”
Kuanggukkan
kepala, “Harus, Lun. Tapi setelah ini kamu harus siap dengan konsekuensinya,”
Kuhela nafas sesaat, “Tetapi yakinlah aku akan terus disampingmu! Kamu nggak
sendiri!”
Aluna
tersenyum, “Terima kasih, Mbak De!” Ujarnya tulus.
“Ehm,
mbak De…,” Aluna memandangku ragu, membuatku mengernyitkan dahi,
“Kenapa,
Lun? Sepertinya ada sesuatu yang mau kamu tanyakan?”
“Ehm
iya, Mbak,” Sahutnya, “Kenapa mbak De mau bantu susah payah membantuku?”
“Karena
aku nggak ingin kamu bernasib seperti adikku. Bunuh diri karena menjadi
korban,” Jawabku jujur.
Aluna
ternganga mendengarnya, “ Ma…maaf mbak De,”
Kuhela
nafas panjang, “Kalian memang menjadi korban tetapi kalian juga masih berhak
untuk hidup dan memiliki impian,”
“Dan
aku ingin melindungi kaumku,”Lanjutku kemudian dengan yakin.
***
Berita hari ini
Dikabarkan YS, Seorang anggota DPR
dilaporkan ke polisi karena tindak pelecehan seksual yang dilakukannya terhadap
Al beberapa waktu lalu. Al yang merupakan putrid tiri korban sempat mengalami
depresi panjang, dan kali ini ia kembali dengan membawa banyak bukti dan saksi
yang akan menyeret sang ayah ke penjara. Hingga detik ini YS belum bisa
dihubungi.
Ini
bukan akhir, tetapi awal perjuangan dimulai, bisikku pelan.
***
Penengahan, 24 Oktober 2014
Keren deh! Top! Jempol!
BalasHapuskebangeten bapak kayak gitu itu...
BalasHapusharusnya jangan cuma dijatuhi hukuman pidana, sekalian juga dikasih hukuman sosial.
ditato aja jidatnya... dikasih tulisan "pemerkosa"... gitu...