Jumat, 08 Januari 2016

[Cerpen] Pulang Kampung



 gambar diambil dari inspiringwallpaper.net



Pulang Kampung

Gadis itu menatap nanar pada pandangan di depannya. Sungguh ia merindukan tempat ini. Tanah kelahirannya. Desa kecil yang memiliki sejuta pesona keindahan. Bukti kuasa Tuhan di bumi. Disini ia dilahirkan dan dibesarkan. Tumbuh bersama ketiga adik- adiknya, menapaki masa kecil dengan hati riang bersama teman- teman sebayanya. Is menarik nafas perlahan dan menghembuskannya kembali. Ah, sudah Lima tahun berlalu, banyakkah yang berubah? Tanyanya dalam hati. Gapura ucapan selamat datang berdiri tegak di depannya. Tampak lebih megah dibanding lima tahun lalu yang hanya terbuat dari bambu.


"Bade' kamana, neng1?" Ia menoleh dan mendapati seorang pria paruh baya tersenyum menatapnya. Ditatap lekat pria itu, ia tersenyum mendapati dirinya masih mengenal pria yang menyapanya.

"Mang Asep, Kumaha? Damang2?"

Pria dihadapannya terlonjak kaget. Tak menyangka perempuan muda yang dikira membutuhkan masa ojeknya mengenalinya. Kali ini dia yang menatap lekat pada gadis yang sedang memamerkan senyum manisnya. Namun sepertinya otak tuanya sudah menurunkan daya ingatnya. Ia menggeleng perlahan.

"Punten? Saha3?" ungkapnya lirih, merasa tidak enak hati tidak dapat mengingat jelas lawan bicaranya.

Sang gadis menahan tawa kecilnya. Tak salah jika pria dihadapannya tak mengingat sosoknya. Sudah terlalu lama aku pergi dari desa ini, batinnya.

"Ira, Mang."

Alis sang pria paruh baya bertaut. Menandakan ia berusaha mengingat sosok cantik di depannya. Sejenak ia berfikir, mungkinkah...

"Ira, Neng Ira anaknya Kang Iman,"

Gadis itu mengangguk. Sontak membuat pria paruh baya dihadapannya memegang erat kedua bahunya.

"Ya Allah, Neng Ira!" Ucapnya tak percaya. "Benar ini teh, Neng Ira?"

Lagi- lagi gadis yang bernama Ira mengangguk. "Iya Mang, saya Ira. Atuh si mang lupa sama saya,"

Lelaki itu terkekeh pelan sambil melepaskan kedua tangannya. "Maklum atuh Neng, Mang kan sudah tua?"

Ira mencibir, "Aih, masih gagah gini kok Mang dibilang sudah tua,"

"Neng Ira bisa aja!" Katanya sambil tertawa. "Hayuk atuh neng, Mang antar ke rumah kalau gitu."

Ira tersenyum dan mengangguk. Tak lama kemudian sudah berada di motor Mang Asep yang bergerak menuju rumahnya.

"Sudah berapa tahun ya, Neng dari kejadian itu?"

Ira menyadari betul maksud pertanyaan Mang Asep, apalagi kalau bukan terkait kaburnya ia dari desa ini.

"Lima tahun, Mang." Jawabnya singkat.

"Baru kali ni ya Neng pulang?"

Ira mengangguk, "Iya, Mang, banyak yang berubah ya sekarang," pujinya sambil terus melihat ke sisi kanan dan kiri jalan. Masih teringat jelas di benaknya, rumah- rumah di sisi kanan kiri jalan belum sebagus sekarang. Masih kayu, belum tembok bata. Jalanan pun belum semulus seperti saat ini. Kemajuan sangat pesat ternyata. Ia bisa memperhatikan lalu lalang kendaraan roda dua bahkan roda empat, tak seperti dulu yang memiliki motor saja bisa dihitung hari.

"Berubah ya berubah neng, tapi ya itu..." Mang Asep mendesah, "Makin memprihatinkan,"

Ira ternganga. Ternyata hal itu berkembang, Oh Tuhan.

"Neng, nggak perhatikan mobil- mobil lalu lalang?" Tanya Mang Asep kemudian.

"Maksud, Mang?" tanyanya ragu.

"Ini akhir minggu Neng, banyak tamu agung,"

Seketika Ira pias, ia paham maksud kata tamu agung yang Mang Asep katakan. Ah, ia mendengus kesal, mengapa jadi begini.

***
"Pokoknya kamu teh harus mau!" Ucapan keras Uwaknya terasa perih di hati gadis kecil itu, membuatnya tergugu di sudut ruangan, sungguh inikah jalan hidupnya.

"Uwak teh nggak mau tahu, kamu besok dandan yang cantik dan Ena, kamu urus anakmu itu!" Ia pun berdiri meninggalkan ruangan. Tanpa perlu menoleh ke belakang.

Sekarang wanita dewasa yang dipanggil Ena berdiri. Menghela nafas perlahan dan menghembuskannya. Hati wanita mana yang tak sakit melihat anaknya diperlakukan semena- mena, bahkan oleh kakak kandungnya sendiri. Namun ia hanyalah seorang janda miskin, tak ada tempat menggantungkan diri sejak suami meninggal beberapa tahun lalu.

"Teh," panggilnya perlahan. Mendekati sang putri yang masih terisak di sudut ruangan. Dengan lembut diusapnya rambut panjang sang anak.

Anak itu mendongak. Wajah putihnya memerah pun demikian matanya. Air mata tak henti membasahi pipinya. Hatinya perih melihat kondisi anaknya sendiri. Direngkuhnya dalam pelukan. Diusap lembut punggung sang putri.

"Aku nggak mau, Mak." Masih dengan terisak gadis kecil itu mengungkapkan isi hatinya.

Ia mengangguk. Aku tahu nak, gumamnya dalam hati. Namun apalah dayanya, hanya seorang perempuan miskin yang tak memiliki kekuatan melawan kakaknya yang seorang pimpinan di desa ini. Entah setan apa yang merasuki kakaknya untuk menjual keponakannya sendiri. Terlalu serakah, gumamnya.

Malam hari gadis kecil itu resah, waktunya hanya malam ini atau esok hidupnya akan berakhir. Semua mimpi dan citanya pupus tanpa ada harapan. Ah, bagaimana ini. Menangis seharian tadipun tak dapat menyelesaikan permasalahannya. Apa yang harus kulakukan, Ya Tuhan. Matanya tak dapat terpejam sama sekali. Akhirnya ia pun beringsut dari kasurnya, menuju kamar mandi yang terletak di belakang rumah. Dibasuhnya kedua wajahnya, dingin, gumamnya. Namun tak menunggu lama segera ia mengambil wudhu.

Aku pasrah, doanya dalam hati selesai shalat sunah yang ia lakukan. Kutahu Engkau selalu memberikan yang terbaik bagi hambaMu. Kali ini aku tak tahu rencana indahMu, namun kuyakin Engkau selalu akan melindungiku.

Tak lama ia merasakan ada sosok yang mendekatinya. Ia berbalik dan menemukan ibunya menatapnya.

"Mak," panggilnya pelan.

Si ibu menghampirinya. Duduk disebelahnya. "Maafkan emak, nak!" Ujarnya tergugu.

Gadis itu menggeleng, "Emak tak salah, mungkin sudah nasibku," Dipeluknya tubuh wanita yang sudah melahirkannya.

"Kamu tahu emak sangat sayang padamu,"

Ia mengangguk, dilepaskan pelukannya. "Iya, mak."

"Berjanjilah kau akan selalu mengingat emak dimanapun kau berada,"

Gadis itu mengernyitkan dahi, gagal memahami makna ucapan sang emak. "Maksud, emak?"

"Emak sudah minta bantuannya Ceu Elis, nanti subuh kamu akan dibawanya ke pasar. Selanjutnya naiklah bis, pergilah ke alamat ini," jelas emak sambil menyodorkan secarik kertas.

"Ini?"

Emak mengangguk, "Itu alamat Teh Nilam, mahasiswi KKN yang dulu menginap di rumah kita. Dia pernah memberikan alamatnya pada emak. Siapa tahu kita butuh bantuannya Katanya waktu itu,"  Emak mendesah. "Sepertinya kita memang butuh bantuannya,"

"Dan ini," Emak kembali menyodorkan benda bukan kertas, namun dompet kecil yang cukup kumal. "Bawalah ini untuk bekalmu, berjuanglah teh disana, kejar semua mimpimu nak!"

Gadis itu tercengang, menatap tak percaya pada semua perkataan emaknya. Inikah jawaban Tuhan. Segera direngkuhnya emak dalam pelukannya. Ia terisak menyadari emaknya sudah mengorbankan banyak hal untuknya.

"Tapi emak...."

Emaknya menggeleng perlahan, "Tak perlu kau pedulikan, sejahat- jahatnya uwakmu ia takkan membunuhku,"

Ia mengangguk. "Sekarang kemasi barang- barangmu,"

***

"Sudah sampai Neng?" Sontak ucapan Mang Asep membuyarkan ingatannya tentang awal kepergiannya dari desa.

"Oh iya Mang, " Segera ia turun dari motor. Dirogoh saku celananya, mengambil selembar uang lima puluh ribuan dan disodorkan kepada Mang Asep.

"Atuh Neng, gede pisan nyak. Mang teh nggak punya kembalian,"

Ira tertawa kecil, "Nggak papa Mang, untuk jajan ehmm... Rahman," Dengan ragu ia menyebutkan nama anak Mang Asep yang masih diingatnya.

"Tapi Neng?"

"Nggak ada tapi- tapian Mang, rezeki nggak boleh ditolak!"

Dengan ragu Mang Asep mengambil uang tersebut, tak urung membuat Ira tersenyum. "Nuhun kalau gitu Neng,"

Ira mengangguk, " Sami- sami, Mang."
Tak lama Mang Asep pun meninggalkan dirinya, mencari lagi orang yang menggunakan jasanya.

Ira tertegun menatap rumah mungil dihadapannya. Tak berubah. Bila di kanan kiri tampak sudah berbata, rumahnya masih sama hanya berdinding papan dan beralaskan tanah. Tampak reot sekali. Ya Tuhan, bagaimana kabar emaknya.

Subuh itu Ira masih ingat diantar emak ke rumah Ceu Elis, tetangganya yang seorang pedagang. Ceu Elis menyembunyikannya di tumpukan sayur yang dibawanya ke pasar. Sesampai di pasar, Ceu Elis mengantarkannya dulu ke terminal kecil yang berada tak jauh dari pasar. Dan bus pun melaju membawanya meninggalkan tanah kelahirannya. Lalu ia pun mendatangi alamat teh Nilam yang diberikan ibunya. Teh Nilam lah yang kemudian menampungnya untuk sementara waktu, mencarikan pekerjaan dan menyuruhnya melanjutkan sekolah. Lima tahun bukanlah waktu yang singkat, dimana ia berjuang menghidupi dirinya sendiri apalagi setelah teh Nilam menikah dan dibawa suaminya pindah ke luar negeri. Pahitnya hidup di ibukota ia jalani dengan satu tekad, membuat bangga emak. Sungguh ia menyadari kebaikan Ceu Elis dan teh Nilam. Ia tak pernah tahu apa yang akan menimpanya jika emak tak menyuruhnya pergi. Ah, mungkin nasibnya sama seperti gadis- gadis di kampungnya. Menjadi pelacur pria- pria hidung belang. Dan ia tak mau itu terjadi pada dirinya.

"Punten? Saha eta?" Suara itu suara wanita yang dirindukannya. Wanita yang mengorbankan jiwa raga untuk hidupnya. Ia terisak mendapati wanita itu berdiri di depan rumah, menatapnya ragu.

"Emak," panggilnya pelan namun masih dapat terdengar.

Wanita tua itu terlonjak, "Ya Allah, teteh. teh Ira,"

Tak menunggu lama iapun berlari menghampiri ibunya. Memeluk erat tubuh tua itu, "Iya mak, Ira pulang."






Bandung, 31 Maret 2014

Catatan
"bade' kamana, neng?  :  Mau kemana, Neng
Kumaha? damang  : Apa kabar? baik
Punten, saha : Maaf, siapa

8 komentar: