Senin, 18 Juli 2016

Kembang Desa Pulau Panggung (25)



Dua Puluh Lima

sebelumnya di sini

“Kenapa kamu tanya begitu, Mir?” Mata Nena memicing curiga.

Eh?

Mirah tersenyum kecut. “Cu—Cuma tanya, Teh.”

“Oh, Teteh kira ada apa,” Mulut Nena membulat, kepalanya pun manggut-manggut. Mirah pun bisa bernafas lega.

“Teteh sih nggak pernah dengar kalau dari kita yang mutusin kontrak. Kalau dari pihak laki sih ada. Biasanya kalau nggak mereka mendadak kembali, ya mereka udah bosan,”

Bosan?

“Kita mah apa atuh, Mir? Mereka yang punya uang, kita yang butuh. Jadi ya cuma bisa nurut,”

“Teteh pernah?”

Nena menggeleng. “Kalau suami-suami Teteh mah sesuai kontrak. Malah ada yang bilang, kalau dia balik lagi ke Indo dia mau nikah sama Teteh lagi.”

Mirah menelan ludah pahit. Tidak nyaman mendengarnya…

“Lagian kepikir dong Mir kalau kita yang batalin kontrak, mereka nuntut ganti rugi. Bayar pake apa kita. Udah ah, nanya jangan aneh-aneh!”

Tak lama kepala Mirah mengangguk perlahan. Nena benar. Ia tadi hanya berpikir spontan tentang pemutusan kontrak. Tak terpikir tentang denda atau ganti rugi.

Uang dari mana, Mir? Mirah pun menghela napas panjang. Ah, gara-gara obrolan di sekolah ini si…

“Mir-Mir, bukannya itu suami kamu ya?”

Kesadaran Mirah tertarik. Dilayangkan pandangan pada pintu masuk café. Dilihatnya sosok Dae Ho masuk. Ia tak sendiri. Ada seorang wanita berambut panjang bertubuh tinggi bersamanya. Keduanya terlihat sangat akrab.

Mirah terbeliak. Tiba-tiba ia teringat ucapan temannya Liana beberapa waktu lalu,

Ceweknya cantik banget, Mir. Kayak model. Tinggi, putih. Wanita itukah?

“Siapa ya Mir? Cantik banget!”

Mirah menghiraukan ucapan Nena. Matanya masih tak lekang menatap Dae Ho yang kini diantar salah salah satu pelayan menuju sebuah meja. Tiba-tiba Mirah terkesiap. Dae Ho menoleh dan keduanya beradu pandang. Mirah baru saja hendak menyunggingkan senyuman ketika Dae Ho segera membuang muka. Sontak dada Mirah terasa sesak. Hatinya terasa sakit mendapati Dae Ho bersikap demikian padanya.

Benar-benar tak dianggap.

“Mir! Mirah!”

Mirah tersenyum tipis dan menatap Nena. “Kamu kenapa? Kok tiba-tiba pucat? Kamu sakit?”

“The, kita pulang sekarang yuk!”

“Pu—lang?” Dahi Nena berkerut. “Kita kan belum makan?”

Mirah berdiri. “Cari tempat lain aja kalau gitu,”

Nena diam sesaat. Matanya melirik keberadaan Dae Ho, tak lama ia pun mengangguk. sepertinya ia tahu yang terjadi di sini. Bergegas ia pun berdiri. Memang sebaiknya mereka pergi.

“Kamu harus jelasin semua sama Teteh, Mir.”

***

Nena hanya mendesah panjang saat mendengar Mirah mengakhiri ceritanya. Sungguh, inilah yang selalu ia takutkan ketika Mirah memintanya mencari suami kontrak. Bagi Nena, Mirah adalah perempuan baik-baik dan polos. Kehidupannya yang dialaminya memang berat, namun Mirah masih menjalaninya dengan cukup baik. Mungkin karena ia tumbuh di lingkungan yang baik pula.

“Teteh kan pernah bilang, jangan pakai hati Mir?”

Mirah mengangguk sembari mengusap pipinya yang sudah basah. “Maaf Teh,”

“Buat apa minta maa, Mir?”

“Mirah salah. Mirah nggak denger omongan teteh,”

Nena menghela napas. Mirah tidak salah. Cinta pada dasarnya adalah anugerah. Tak ada yang bisa menebak kapan ia datang, bahkan pada siapa. Cuma kali ini Mirah apes. Yang dicintai jelas-jelas bukan laki-laki yang mencintainya. Mereka pun hanya terikat sebuah pernikahan kontrak.

“Mir,” Nena menarik tangan Mirah dan menumpunya dengan kedua tangannya. “Nggak ada yang salah dengan perasaan kamu. Tapi teteh harap jangan berharap padanya. Perasaan itu jangan dibiarkan tumbuh. Kamu masih muda. Banyak lelaki yang sebenarnya layak kamu dapatkan,” ungkap Nena lirih.

“Selesaikan kontrak dan lalu lupakan semuanya.” lanjutnya lagi. “Kalau waktu bisa terulang, Teteh akan menolak keinginan kamu, Mir.”

Mirah terdiam. Ada rasa bersalah menggelayutinya. Ia tak enak jika Nena kemudian ikut merasa bersalah.

“Maaf ya, Teh.” Ujar Mirah. “Mirah tahu diri kok. Mirah juga berusaha untuk tidak berharap pada Oppa. Mirah berharap kontrak ini segera selesai.”

Nena mengangguk. “Ya seharusnya seperti itu.”

***

“Maafkan saya,”

Mirah mendongak. Sedari tadi ia memilih diam. Bersikap seperti biasa. Menyambut kepulangan Dae Ho lalu menyiapkan makan malam. Sesaat keduanya larut dalam keheningan di meja makan hingga Dae Ho yang pertama kali berbicara.

“Saya tak bermaksud buruk padamu, Mira,” ucap Dae Ho lagi. “Tapi situasi tak memungkinkan untuk saya menyapa kamu.”

Mirah mengangguk perlahan. Dipaksanya menarik lurus bibir untuk membentuk senyuman. “Aku tahu Oppa. “

“Tapi kamu mendadak pergi?”

“Aku tak ingin Oppa merasa tak nyaman dengan keberadaanku,” ujarnya mencari alasan yang tepat. Tak mungkin jika ia katakan kalau dirinya tengah cemburu sekaligus sakit hati.

“Kamu memang baik, Mira. Tapi saya tak enak.”

“Sudahlah, Oppa.” Geleng Mirah. “Lupakan saja. Itu bukan sesuatu yang penting juga.”

“Lebih baik kita teruskan makan?” sambungnya lagi. “Bagaimana rasa masakannya? Enak?”

“Tentu saja!” Dae Ho mengangguk cepat. “Masakan kamu selalu enak, Mira. Saya jadi semakin suka masakan negara ini.”

Mirah tersenyum kecut. Sebenarnya ia butuh tak sekedar kata maaf. Penjelasan tentang siapa wanita itu juga alasan yang sebenarnya Dae Ho mengabaikan dirinya pun ingin didengarnya. Tapi mengingat pesan Nena, Mirah pun memilih untuk bersikap tak peduli sejak saat ini. Apapun yang dilakukan Dae Ho di luar, bukan urusannya.

Yah memang bukan urusannya.

“Oh ya, lusa saya harus pergi ke korea, Mir?”

Mirah mengernyit. “Lusa?”

Dae Ho mengangguk. “Perayaan chuseok.”

“Chuseok?”

“Iya. Perayaan panen juga pesta untuk menghormati para leluhur.”

Dalam benak Mirah ketika Dae Ho menyebut penghormatan pada leluhur adalah kegiataan orang-orang mengunjungi altar yang telah ditata dengan berbagai macam panganan lalu mereka akan menunduk atau membungkuk di depan altar. Hal ini pernah ada di beberapa adegan drama korea yang ditontonnya.

“Keluarga kami akan berkumpul semua.” Ucap Dae Ho kembali yang kemudian membuat Mirah tersenyum sedih.

Keluarga? Bahkan ia tak pernah tahu tentang keluarga Dae Ho.

“Oppa pergi berapa hari?” tanya Mirah mengabaikan perasaannya yang gelisah. Sudah Mirah, tak perlu tau keluarganya. Toh kamu bukan siapa-siapa?

“Lima hari.”

Mirah mengangguk. “Baiklah akan kusiapkan semuanya.”

“Terima kasih, Mira.”

***

Jika dulu saat ditinggal Dae Ho, Mirah mengurung diri di rumah kini tidak lagi. Mirah sudah membulatkan tekad untuk mematikan perasaannya. Jadi sebisa mungkin ia menyibukkan dirinya dengan berbagai kegiatan. Pulang terlambat, jalan-jalan ataupun mengunjungi Nena. Apapun kegiatan yang bisa membuatnya jarang di rumah, karena rumah selalu mengingatkan dirinya akan Dae Ho.

“Mir, yang ini cantik nggak?”

Mirah menoleh. Di tangan Nena terdapat sebuah dress tanpa lengan berwarna peach yang cukup indah. Senyumnya pun merekah lalu mengangguk.

“Cantik, Teh. Apalagi dipakai Teteh,”

“Kamu ini bisa aja kalau disuruh muji,” cibir Nena yang bersambut tawa Mirah.

“Pujian kan bikin orang senang, Teh. Jadi pahala!”

Nena tergelak, kepalanya manggut-manggut. “Okelah kalau gitu. Eh aku coba dulu ya,”

Mirah mengangguk. Sembari menunggu Nena di ruang ganti, ia pun melihat koleksi-koleksi yang ada di toko pakaian yang sedang mereka kunjungi. Hari ini ia memang sengaja janjian untuk jalan-jalan ke mall bersama Nena.

“Mirah!”

Mendengar namanya disebut, Mirah pun berbalik. Seketika matanya terbelalak mendapati sosok yang baru saja memanggilnya.

Demi Tuhan, kenapa Jakarta jadi sedemikian sempit? ****
selanjutnya di sini

Lampung, Juli 2016


4 komentar: