Rabu, 20 Juli 2016

Kembang Desa Pulau Panggung (27)


Dua Puluh Tujuh

sebelumnya di sini

Mirah terduduk lemas sesaat setelah tiba di rumah. Beruntung karena Lilian, Mirah bisa menolak tawaran Faisal yang hendak mengantarnya. Ck, bisa masalah kalau sampai Faisal tau tempat tinggalnya. Sekarang saja ia sudah bermasalah dengan fakta Faisal ternyata bekerja pada suami Kanaya. Apalagi memang mantan suaminya cukup mengenal Kanaya.

Tamat sudah riwayatmu, Mir…
Entah apa yang terjadi kalau sampai Faisal mengatakan mereka mantan suami istri. Apalagi yang Kanaya tahu dirinya wanita bersuami. Bukan tak mungkin kan Faisal curiga hingga kemudian terbongkarlah nikah kontrak yang tengah dijalaninya.

Argh, bagaimana ini… Benar-benar buruk nasibku, bisik Mirah dengan air mata yang mulai mengalir membasahi pipinya.

Tak dapat dipungkiri rasa takut menghinggapi diri Mirah. Ia takut jika pada akhirnya keluarganya di kampung mengetahui hal yang dilakukannya. Sungguh, ia tak peduli pada Faisal. Mirah benar-benar mencemaskan keluarganya. Bisa masuk rumah sakit Emak karena dirinya.

Ya Tuhan, apa yang harus kulakukan? Dering ponsel tiba-tiba terdengar. Mirah menemukan nama Kumala di layar ponselnya. Sesaat matanya terpejam dan tangannya dengan cepat mengusap kedua pipinya. Setelah memastikan dirinya dalam kondisi lebih baik, Mirah pun mengangkat panggilan.

“Ada apa, La?” tanya Mirah sesaat setelah sapaan dari seberang telepon terdengar.

“Maaf, Yuk! Ini Rania maksa minta telepon Ayuk. Mala tadi nolak takut ganggu Ayuk, eh Rania malah histeris,” jelas Kumala kemudian. “Maaf ya, Yuk!”

Mirah menghela napas dalam-dalam. “Nggak papa. Kasih teleponnya ke Rania kalau gitu,”

“Ibuu…hiks..hiks..”

Mirah merasa hatinya tercubit mendengar tangis Rania. Seharusnya ia di sana memeluk gadis ciliknya.

“Rania, Sayang tenang, Sayang. Rania kenapa, Nak? Rania nggak enak badan?”

“Ra—nia hiks… tadi mimpi bu—ruk, hiks.”

“Mimpi?” Mirah mengerut bingung. “Rania baru bangun tidur siang?”

“I—iya, hiks-hiks... Ta—di di mimpi Rania, i—bu hiks… jatuh ke jurang. Ju—rangnya dalam. Rania pang—panggil-panggil Ibu nggak jawab.”

Deg. Jantung Mirah berdegup kencang. Ia dan Rania memang cukup akrab. Entah apa ini, mungkinkah mimpi Rania terkait dengan kejadian yang baru dialaminya.

Dirinya memang sedang jatuh ke dalam jurang.

Jurang penuh kebohongan dan dosa.

Ya Tuhan, rania… “I—bu, hiks..hiks…hiks!”

Mirah mendesah panjang sebelum kemudian kembali berbicara untuk membujuk anaknya. “Rania, Sayang dengar Ibu!” ucapnya kemudian. “Ingat nggak Ibu pernah bilang apa? Rania udah gede jadi nggak boleh…,”

Mirah membiarkan kalimatnya menggantung. Ia berharap Rania mengingat pesan-pesannya.

“Ce—cengeng,”

“Anak pintar!” senyum Mirah. “Jadi kalau gitu Rania tahu apa yang harus dilakukan sekarang. Itu mimpi, Nak. Cuma bunga tidur. Jangan dipikirkan! Ibu baik-baik aja kok di sini,” ujar Mirah panjang lebar.

“Kan Rania selalu doain Ibu kan? Jadi nggak ada yang perlu dicemaskan.”

Di seberang, Mirah dapat merasakan Rania yang berusaha untuk menenangkan dirinya. Sesekali terdengar seunggukan, tapi Rania sudah mencoba tak lagi menangis. Mirah pun menarik napas lega. Gadisnya memang anak hebat.

“Anak Ibu kan anak hebat, pintar lagi. Jadi jangan cemas lagi ya, Nak.”

“I—iya.” Suara rania terdengar lirih. “Ta—pi Ibu janji segera pulang ya,”

“Insyaallah. Rania juga janji doain Ibu terus ya biar bisa cari uang banyak terus nggak kerja jauh-jauh lagi.”

“Iya. Rania pasti doain Ibu,”

Ah, Ran maafkan Ibu, Nak… ***

“Jadi kamu dan Faisal mantan suami istri?”

Mata Mirah terbeliak. Bahkan tak butuh dua puluh empat jam berselang untuk kemudian terbongkar masa lalunya di depan Kanaya.

Ck, apa sih yang kau katakan, Bang! Gumam Mirah dalam hati.

“Ba—bang Faisal bilang apa saja, Mbak?”

Kedua bahu Kanaya terangkat. “Dia cuma bilang kalian mantan suami istri. Kamu ibu anaknya. Itu saja,”

Mirah diam. Kalimat itu saja terdengar biasa dan sederhana, tapi sudah mampu merusak kehidupan Mirah ke depannya.

“Aku tuh sempat bingung lihat sopir kepercayaan Mas Adhi ngobrol sama kamu. Pas aku tanya dia bilang kamu mantan istrinya. Sejujurnya aku kaget. Apalagi seingatku kamu sudah bersuami kan?”

Mirah berdecak dalam hati. Ia tak suka jika orang mulai banyak pertanyaan dalam hidupnya. Selama ini Mirah lebih suka menyendiri karena tak ingin banyak orang mengetahui kehidupan pribadinya. Terlalu privacy.

“Ehmm iya, Mbak.”

“Faisal tidak tahu soal kamu sudah menikah lagi?”

Mirah menggeleng tanpa suara. Ia enggan berbicara banyak atau sekedar menjelaskan pada Kanaya.

“Kamu nggak suka ya aku tanya-tanya?”

Kepala Mirah tertunduk perlahan. Kanaya menghela napas, tak lama ia meminta maaf. “Maaf ya, Mir. Aku sedikit penasaran. Padahal kan ini kehidupan pribadi kamu. Aku saja menyembunyikan kehidupan pribadiku,”

Sorry ya, Mir.”

Mirah menggeleng kembali. “I—iya, Mbak dan so—soal Bang Faisal… “ kalimat Mirah terhenti. Ia sendiri bingung. Kehidupannya terlalu ruwet dengan kebohongan.

“Kamu tenang aja, Mir. Aku kemarin nggak bilang apa-apa. Faisal memang bercerita tentang kamu tapi sepertinya dia memang tak tahu soal pernikahanmu.”

“Ehmm, tolong jangan diberitahu, Mbak.”

Kanaya menggeleng. “Itu urusan pribadimu, Mirah. Kurasa aku tak berhak mengatakan apapun,”

Mirah manggut-manggut. Setidaknya ia bisa bernafas lega. Tadi ia sempat berpikir untuk keluar dari pekerjaan, tetapi ia gamang karena mencari pekerjaan juga sulit. Apalagi dirinya sudah nyaman.

“Ya sudah kembali kerja. Aku mau lihat pembayaran siswa yang masuk bulan ini,”

Mirah tersenyum. “Baik, Mbak. Terima kasih,”

Kanaya mengangguk, Mirah pun beranjak pergi. Namun baru beberapa langkah, Kanaya kembali memanggilnya.

“Mir, Faisal tahu sekolah ini,”

***

Kepala Nena menggeleng berulang kali. Mirah baru saja menyelesaikan ceritanya.

“Jadi mantan suami kamu kerja sama mantan suami Kanaya?”

Mirah mengangguk dan Nena berdecak. “Ck, kenapa jadi begini ya, Mir?”

Mirah mendesah. “Mungkin ini yang disebut serapat-rapatnya kita menutup bangkai pada akhirnya tercium juga, Teh,”

“Tapi dia belum tau kan, Mir.”

“Akan tahu, Teh.” Ralat Mirah sambil menghela napas berat. “Cepat atau lambat.”

“Kalau gitu apa nggak sebaiknya kamu keluar kerja?”

“Aku sudah berpikir begitu, Teh. Tapi aku nggak enak dengan Mbak Kanaya. Dia terlalu baik.”

“Tapi kamu sendiri nggak nyaman kan, Mir?”

“Aku bingung, Teh. Mencari pekerjaan susah. Itu yang kupikirkan setelah nantinya berpisah dari Oppa.”

“Uang Dae Ho?”

“Terlalu banyak keperluan, Teh. Biaya berobat Emak. Biaya sekolah Rania dan Kumala.”

Sesaat hening.

“Aku benar-benar takut Bang Faisal tahu semuanya, Teh.” Suara Mirah terdengan pelan. Nyaris berbisik.

Nena manggut-manggut. Ia kasihan dan prihatin dengan masalah yang membelit Mirah. “Kalau saran Teteh teh kamu keluar dari kerja. Biar bagaimanapun perjanjian kamu dan Dae Ho yang penting sekarang. Kalau kamu resign kan, Faisal tak ada kesempatan menemuimu di sekolah Kanaya.”

Mirah mengangguk. Hal itu memang sudah dipikirkannya. Tapi bagaimana dengan nasib dirinya. Masa iya, ia harus berjibaku mencari pekerjaan lagi.

“Mirah, kenapa kamu nggak bikin usaha sendiri aja?”

***
selanjutnya di sini

Lampung, Juli 2016

4 komentar: