Senin, 25 Juli 2016

Kembang Desa Pulau Panggung (29)


 Dua Puluh Sembilan

sebelumnya di sini

Mirah merasa satu bulan berjalan begitu cepat. Ia menggigit bibir bawahnya saat melihat beberapa koper tampak memenuhi kamar. Dae Ho telah berkemas. Semua barang-barang miliknya sudah dibereskan dan esok pagi lelaki itu akan meninggalkan Indonesia.

Selama satu bulan terakhir, tak ada hal berarti yang Dae Ho lakukan. Mirah sempat berpikir, Dae Ho akan membawanya liburan bersama terakhir kalinya. Hitung-hitung sebagai tanda perpisahan mereka. Sayangnya, hal itu tak terjadi. Dae Ho begitu sibuk menyelesaikan semua pekerjaan sebelum kemudian kembali ke negaranya.

“Saya sewa apartemen ini sampai akhir tahun. Jadi kamu bebas di sini,”

Mirah berbalik. Dae Ho muncul dari balik kamar mandi. Tak lama ia pun mengangguk. Dae Ho memang mengizinkannya tinggal di apartemen hingga habis masa sewa berakhir. Laki-laki itu pun menepati janjinya dengan membayarnya sesuai dengan perjanjian mereka. Mirah untung secara ekonomi, tetapi tak sebanding dengan rasa sakit serta kesedihan yang kini ia rasakan.

“Terima kasih, Oppa.” Mirah menarik napas dalam-dalam lalu mencoba tersenyum. Meski ia merasa terlalu sulit untuk menarik bibirnya. “Tapi aku akan segera pergi setelah menemukan tempat kost yang baru.”

“No! No! Mirah! Kamu bebas gunakan ini tempat. Bukan masalah.”

Mirah menggeleng perlahan. “Terima kasih, Oppa. Tapi sebaiknya aku segera pergi.”

Atau kalau tidak aku semakin sakit hati, bisiknya dalam hati.

Sesaat Mirah mengedarkan pandangan pada seluruh ruangan. Terlalu banyak kenangan dan cerita yang terjadi hingga ia sendiri tak dapat membayangkan jika harus bertahan di sini tanpa kehadiran Dae Ho.

Rasanya sesak.

Dae Ho sudah tak ada tapi kenangannya nyaris dapat ia rasakan.

Biar bagaimanapun ia harus segera mendapat tempat baru.

“Mira,”

Eh?

Dae Ho mengernyit. Ia menatap Mirah lekat-lekat. “Ada yang kamu pikirkan? Masalah berat?”

Kamu…
Mirah menggeleng. “Nggak, Oppa.”

“Oh,” Mulut Dae Ho membulat, tak lama ia menepuk perutnya perlahan. “Saya lapar,”

Kepala Mirah mengangguk. “Kalau begitu tunggu sebentar, Oppa. Aku masak dulu.” Karena disibukkan mengemasi barang-barang Dae Ho, Mirah memang belum sempat memasak.

“Tidak perlu, Mira. Kita pesan saja makanan.” Ujar Dae Ho menahannya. “Kamu pesan saja masakan Padang. Ah, saya akan merindukannya.”

Mirah tersenyum kecut lalu mengangguk. Sejurus kemudian ia keluar kamar dan menghubungi restoran yang menjadi langganannya.

Hanya masakan Padang, Oppa. Bagaimana denganku? ***

“Saya benar-benar berterima kasih padamu, Mira.” Ucap Dae Ho sesaat setelah mereka menyelesaikan makan. “Kamu mengurus saya dengan baik.”

“Karena kamu saya ingin menikah segera.”

Hati Mirah terasa tercubit. Dae Ho mengatakan karena dirinyalah, lelaki itu ingin menikah. Jadi selama ini Dae Ho tak menganggap hubungan keduanya sebuah pernikahan kah?

Argh…

“Hmm, ini seperti pertama kali kamu ke sini ya?” Dae Ho kembali berbicara. “Kamu ke sini pertama kali, kita pesan masakan Padang kan?”

Mirah tersenyum getir. Dae Ho baru mengingatnya. Sedangkan dirinya sudah sedari tadi menyadari jika hal yang sekarang terjadi, pernah pula terjadi beberapa bulan lalu.

Awal dan akhir, makan bersama dengan masakan Padang.

Mirah mendesah panjang, setidaknya masakan Padang kini mengingatkannya pada Dae Ho.

“Kamu wanita yang baik, Mira.”

Mirah mendongak. Matanya beradu pandang dengan mata milik Dae Ho. Seketika dadanya kembali sesak. Mirah merasa air matanya mulai berkumpul dan hendak melesak keluar.

“Oppa…,”

“Mira, saya minta maaf jika bersikap tidak baik denganmu selama ini.” Dae Ho tiba-tiba berdiri. Tak lama tubuhnya membungkuk. “Untuk semuanya terima kasih, Mira. Kelak di masa depan, kamu harus hidup bahagia.”

Kali ini Mirah tak lagi dapat menahan air matanya. Tangisnya pun pecah. Rasanya benar-benar begitu menyakitkan.

“Mira, kamu…,”

“Terima kasih, Oppa.” Potong Mirah dengan cepat. Ia tak ingin Dae Ho berpikir macam-macam. Sekuat hati, ia berusaha mengatakan hal yang sama baiknya. “Terima kasih juga untuk semuanya. Kuharap Oppa juga hidup bahagia.”

“Jangan lupakan aku, Oppa,” sambungnya lirih.

Taka lama Mirah merasakan tubuhnya dipeluk. Hangat. Alih-alih merasa kenyamanan, Mirah justru merasa lebih sedih. Ini akan kurindukan…

“Tidak. Saya tidak akan lupa kamu.” sahut Dae Ho pelan. Mirah menelan ludah susah payah. Nafasnya tercekat.

“Tapi saya tak pernah tahu apa kita bisa bertemu lagi, Mira.”

***

Nena menggeleng prihatin melihat kondisi Mirah. Wanita itu baru pulang dari bandara untuk mengantar Dae Ho kembali ke negaranya. Sejujurnya ketika Mirah bercerita bahwa Dae Ho akan kembali ke Korea dan mengakhiri nikah kontrak, Nena senang bukan kepalang. Jauh di lubuk hatinya menyimpan perasaan bersalah yang amat besar karena membiarkan Mirah melakukan nikah kontrak.

Dia tak pantas melakukannya. Mirah merupakan perempuan baik-baik.

Tapi saat itu memang tak ada pilihan lain selain pernikahan kontrak. Mirah membutuhkan uang yang cukup besar untuk ibunya dan satu-satunya jalan yang bisa dilakukan untuk mendapatkan uang dalam jumlah besar hanyalah nikah kontrak. Mau tak mau, Nena harus mengiyakan keinginan Mirah.

Rasa bersalah Nena pun makin besar saat mengetahui Mirah jatuh cinta pada Dae Ho, suami kontraknya. Bertahun-tahun menjalani profesi sebagai istri kontrak, Nena belum pernah menemukan wanita yang menjadi istri kontrak dinikahi secara resmi oleh laki-laki yang menikahinya. Hal itu mungkin ada di novel fiksi, tapi tidak di dunia nyata. Pada akhirnya mereka hanyalah wanita pemuas nafsu. Kontrak berakhir, berakhir sudah hubungan. Takkan ada hubungan yang berkelanjutan.

“Mir,”

“Eh iya. Kenapa Teh?”

Mirah terkesiap. Nena menggeleng. Sejak tiba Mirah memang lebih banyak melamun. Layar televisi memang menyala, tetapi pandangan Mirah kosong. Sepertinya hanya tubuhnya yang berada di ruang tamu Nena.

“Mungkin semuanya akan terasa sulit. Tapi bersemangatlah, Mir. Hidupmu masih panjang,”

“Aku tahu, Teh.” Sahut Mirah. “Tapi semua butuh proses kan? Rasanya masih begitu menyakitkan.”

“Teteh tahu. “ angguk Nena. “Tapi Teteh yakin kamu bisa melewatinya. Ingat anak kamu, Mir. Rania.”

Mirah terhenyak. Tiba-tiba bayangan Rania terlintas di benaknya. Sebersit rasa bersalah menyelimuti dirinya. Tadi saat di bandara, ia sempat menginginkan untuk pergi mengikuti Dae Ho ke Korea. Ia ingin lelaki itu tahu jika dirinya begitu mencintai Dae Ho dan siap mengikuti laki-laki itu kemana pun pergi. Kemanapun, asalkan bersama Dae Ho.

Ya Tuhan, begitu egoisnya aku…

“Lupakan dia, Mirah. Nggak lama lagi dia teh suami orang,”

Mirah manggut-manggut. “Iya, Teh. Aku tahu.” Tukas Mirah lirih. “Ehm, Teh malam ini aku boleh nginap sini?”

***
selanjutnya di sini

2 komentar: