Kamis, 21 Mei 2015

Romansa Puber Kedua (1)

ROMANSA PUBER KEDUA


“Tantri?”
“Loh Mas Haris?”
Senyum terkembang dari bibir Haris. Wanita dihadapannya masih mengenalinya ternyata. Padahal sejak awal melihat wanita tersebut saat masuk kantornya ia gamang. Mencoba menerka- nerka bahwa sosok itu adalah sosok yang dikenalnya dulu. Di masa lalu.
“Kok disini, Mas?”
“Aku kan kerja di sini sekarang.”
Mata Tantri melebar.  Kekagetan tak dapat tertutupi di raut wajahnya. “Jadi Kadis yang baru itu Mas Haris.”
Haris mengangguk. “Iya. Ngomong- ngomong kamu kesini ada apa?”
Tantri mengangkat berkas yang ada di tangannya. Menggerakknya berkali- kali dengan senyum tersungging. “Tanda tangan, Pak.” Selorohnya kemudian.
Haris mengernyit sejenak. Kemudian tersenyum lebar, “Jadi kamu tugas dimana?”
“Di SD 4, Mas!”

Mulut Haris membulat lalu kepalanya mengangguk. Ternyata selama ini Tantri dinas di daerah ini. Pantas saja kalau selama ini ia tak pernah menemukan Tantri. Kantornya dulu berada di ibukota. Namun menjelang masa pensiun ia meminta kantor pusat memindahkannya ke tanah kelahirannya, meskipun pada akhirnya ia tidak dapat berdinas di daerah asalnya. Tapi lebih baik, kan masih propinsi yang sama.
Ah, siapa sangka disini ia justru bertemu dengan Tantri. Cinta pertamanya.
“Ngobrolnya di dalam aja, yuk!” Ajak Haris kemudian. Tantri mengangguk lalu mengikuti Haris menuju ruangannya.
“Sudah berapa lama kamu disini?” Tanya Haris saat keduanya sudah masuk ke ruangan. Haris mendudukkan tubuhnya di kursi kerjanya dan mempersilahkan Tantri duduk di depannya. Keduanya dipisahkan meja kerja Haris.
“Dua puluh dua tahun, Mas eh..Pak.”
Haris tersenyum geli. “Santai saja, Tan. Panggil Mas nggak papa? Ngomong- ngomong  sudah lama juga ya?”
Tantri mengangguk. “Sama seperti kita. Lama tak bertemu,”
“Kamu ngilang sih,” Cibir Haris.
Tantri hanya tersenyum tipis, “Anakmu berapa, Mas?” Tanyanya mengalihkan pembicaraan.
“Tiga.”Jelasnya, “Kamu?”
“Dua, Mas.” Jawab Tantri sembari menyodorkan berkas yang dibawanya. “Istrimu disini?”
Haris mendesah dan meraih pena yang tersemat di baju dinasnya lalu menandatangani berkas yang disodorkannya. “Masih di Jakarta. Anak bungsuku tanggung kalau pindah sekolah.”
Tantri manggut- manggut lalu melirik sekilas jam di pergelangan tangannya. “Mas, aku harus kembali ke sekolah.”
“Baiklah.” Haris mengangguk, “Tapi aku boleh minta nomormu.”
Tantri mengangguk lalu menyebutkan nomor handphonenya. Sesaat setelah urusannya selesai, ia pun meninggalkan ruangan Haris.
Haris tersenyum tipis menatap kepergian Tantri. Ah, entah mengapa ia merasa sangat bahagia hari ini.
-tbc-


Selanjutnya Disini


1 komentar: