Selasa, 09 Juni 2015

ELROY (4)

Sebelumnya Disini
Bab IV 
 
“LAKI- LAKI SIALAN!”
“WANITA NGGAK BERGUNA!”
“BAJ*NGAN!”
“JAL*NG!!”
“KAMU BILANG AKU APA? JAL*NG?”
“BI*CH!”
“JAHAT KAMU, MAS!”
 “IYA. BUKANKAH ITU MEMANG DIRIMU?”
“MASSSSSSSS!!!!”
PRANGGGGGG….
Seorang anak laki- laki memejamkan matanya mendengar keributan di lantai bawah rumahnya. Untuk kesekian kalinya ia mendengar kalimat makian dan cacian dari orang- orang yang dicintainya dan hal itu akan berakhir dengan lemparan dan pecahan benda.
Minggu lalu ia melihat guci keramik yang berada di dekat ruang makan pecah berkeping- keping. Dua hari lalu  lemari kaca yang berada di sudut ruangan sudah tak berbentuk dengan isinya yang tercerai berai dan kemarin meja di ruang tengah yang tak bisa terselamatkan.
Ck, inikah akhir kisah dua orang yang pernah mengaku cinta.
Ia sungguh sudah tak sanggup mendengar keributan ini. Bergegas diambilnya kunci motor yang berada di atas meja belajar lalu melesat meninggalkan kamarnya.
Ia meringis saat melihat keadaan ruangan keluarga yang udah tak keruan.  Vas bunga yang biasa ada di dekat jendela sudah hancur. Beberapa benda tak lagi pada tempatnya. Sekilas matanya menangkap sosok wanita baya tengah tergopoh- gopoh dari arah belakang dapur dengan membawa sapu dan pengki.
Bi Inah. Pembantunya.
“Ma…mau kema, Den?”
“Keluar, Bi. Suntuk di rumah.” Sahutnya sinis dan dengan langkah cepat ditinggalkannya ruangan.
Rumah neraka.
***
“Motor lo nih!”
Elroy mendongak dari buku yang dibacanya. Ia tersenyum sinis saat melihat Bastian datang menghampiri kursinya. Sesaat setelah meletakkan kunci di mejanya, Bastian mengambil tempat di sebelah Elroy.
“Kuliah juga lo hari ini. Gue pikir bolos lagi!”
Elroy mendengus seraya memasukkan kunci motornya ke dalam saku. Cerewet!
“Cih! Nggak ada ucapan thanks, terima kasih gitu!” Sindir Bastian kembali.
Thanks.” Sahut Elroy pendek. Ia tak berniat meladeni ucapan Bastian. Kepalanya sudah cukup pusing karena kata- kata Anya kemarin, belum lagi pagi ini ia harus bertemu cewek sinting yang hobi menginjak kakinya.
Bastian melirik bingung dengan sikap Elroy. Ia terima jika lelaki itu berkata ketus dan sinis atau sama sekali tak mengucapkan terima kasih dengan wajah dinginnya. Sudah biasa. Tetapi kali ini Elroy justru mengucapkan terima kasih namun dengan wajah yang terlihat frustasi. Meski ia asyik membaca sekalipun, Bastia bisa merasakannya.
“Kenapa lo?”
Elroy menggeleng membuat Bastian hanya bisa mendesah kecewa. Sampai kapan lo menutup diri, El.
“Yang lain belum datang ya?” Bastian mencoba mengalihkan pembicaraan. Matanya mengedari ruang kuliahnya. Tampak mulai ramai meskipun ketiga batang hidung temannya sama sekali belum terlihat.
Elroy hanya mengangkat kedua bahunya tak peduli membuat Bastian menggeleng. Ia lupa kalau sahabatnya ini pribadi yang cuek dan dingin. Ah, mana peduli dia.
Bastian baru saja hendak berdiri mencari teman- temannya yang lain ketika matanya menangkap kedatangan Adit dan Tama di pintu.
“Berdua doang?” Tanya Bastian tak sabar. “Kenzi mana?”
“Nggak masuk. Disuruh nyopirin emaknya.” Jawab Adit sembari menghempaskan tubuhnya di kursi tepat di belakan Bastian. Sedangkan Tama mengambil tempat di belakang Elroy.
“Ck, anak mami!”
“Ya udah sih biarin aja!” Sahut Tama kemudian. “Eh ngomong- ngomong tadi gue sama Adit ngebahas Gendis.”
“Gendis?” Sesaat Bastian terdiam. Otaknya berfikir dengan nama yang disebut Tama, “Gendis Amelia.”
“Yoi.” Tama mengangguk cepat. “Makin cantik aja tuh dia!”
“Serius? Udah balik dia? Anjr*t kok gue nggak tahu!” Cecar Bastian tak percaya.
“Makin sulit lo dapetin dia, Bro!” Sindir Adit yang disambut dengusan sebal Bastian. “Gila ya balik dari amrik makin sek…sih…,”
Bastian mendelik mendengar kata- kata Adit. Sangat mengusik dirinya. “Gue berani bertaruh dia tetap nggak mau sama lo.” Celetuk Adit yang disambut gelak tawa Tama dan pelototan Bastian.
“SIALAN LO!” Bastian merengut, “Gimana kalau kita taruhan beneran?”
“Siapa takut? Taruhannya apa?” Tantang Adit kemudian.
“Bisa gue pikirin entar. Lo ikutan kan Tam?”
“Boleh! Tapi jangan bikin gue miskin ya,” Jawab Tama yang disambut acungan jempol Bastian.
“Lo, El gimana?”
Meski sejak tadi mata Elroy terpaku pada buku yang ada di genggamannya, tetapi telinganya masih menangkap jelas pembicaraan ketiga orang di sekelilingnya.
Taruhan? Cewek?
Siapa tadi namanya? Adis? Kendi? Ah siapalah itu.
 “NGGAK. Gue nggak minat.”
“Ck, cemen amat lo!”
Sontak Elroy menoleh. Pandangan tajam diarahkannya ke Adit. “Cemenan mana sama lo yang bisanya taruhan cewek! Kalau adik kesayangan lo yang dijadiin barang taruhan, mau lo?”
Skakmat.
Adit bungkam seketika. Sesaat diliriknya Bastian dan Tama yang sama- sama memilih mengatupkan mulutnya rapat- rapat.
Gue mungkin nggak peduli, tapi gue masih punya hati.
***
Mata Elroy melebar seketika. Untuk ketiga kalinya ia bertemu dengan gadis yang sama. Gadis yang sudah dua kali menginjak kakinya. Gadis yang nyaris saja menabrak dirinya.
Lagi! Ck…
“Lo lagi- lo lagi!”
Elroy mendengus. Ia berdecak sebal dalam hati. Kampus ini terlalu kecil sepertinya. Baru tadi pagi ia dan gadis ini bertengkat masalah botol yang dilemparnya kini ia harus bertemu kembali dengan dirinya yang nyaris tertabrak motor yang dikendarai gadis tersebut. Alih- alih meminta maaf, gadis itu tanpa merasa berdosa justru mengomelinya.
“HEH! Cewek sinting lo kalau nggak bisa bawa motor nggak usah sok bawa motor!”
“Gue bisa kok! Salah lo lewat disini!” Kata gadis itu tak mau kalah, “Tuh ada trotor, jalan lo disana?”
Elroy memutar bola mata kesal. Trotoar memang ada tapi tak bisa digunakan karena adanya pedagang kaki lima. Jelas ini bukan kesalahan dirinya. Ia hanya sedang berjalan meski ya bukan di tempat yang seharusnya.
“BERISIK! Minta maaf lo!”
“NGGAK!”
“Heh!”
“APA!” Tantang gadis itu, “Lo aja nggak pernah minta maaf ke gue!”
Whattt!
Elroy mendelik. Ia kesal setengah mati. Spontan tangan kanannya mencengkeram pergelangan tangan gadis itu dan tangan kiri mengambil kunci motor.
“LEPASIN GUE!” Gadis itu meronta. “Kunci motor gue!”
“Apa? Nggak akan gue kasih sampe lo minta maaf,”
“OGAH!”
“MINTA MAAF!”
“LO DULUAN YANG MINTA MAAF KE GUE!”
“LO DULU!”
“LO!”
“EL!” Elroy mendengus gusar. Tama setengah berlari mendekati keduanya. Ngapain sih ni bocah!
“Ka…kalian ngapain sih?” Tanya Tama dengan nafas terengah- engah. “Malu- maluin aja ribut di jalan.”
“Cowok rese ini ngambil kunci motor gue, Tam.” Adu gadis itu kepada Tama. Wajahnya bertekuk kesal.
“Heh! Lo duluan yang nyaris nabrak gue!”
“Hah heh hah heh! Lo juga udah bikin gue nyaris celaka dua kali. Ingat itu!”
“Woi! woi! woi! woi! Stop dulu!” Kedua tangan Tama terangkat. Ia sedikit frustasi karena keributan dua orang di depannya. Sama- sama keras kepala.
“Udah sih kalian baikan. El, apasih susahnya minta maaf. Lo juga, Ndis?” Tambah Tama yang disambut keengganan keduanya.
“OGAH!”
“NGGAK!”
“Astaga El, Ndis kalian kayak anak- anak aja!”
“Biarin,” Gadis itu menjulurkan lidahnya ke Tama membuat Tama terkekeh sejenak.
“Ya ampun Gendis jauh- jauh ke amrik lo belajar gituan!”
“Ngawur lo!”
“Gendis?” Dahi Elroy mengernyit. Ia baru menyadari kalau sejak tadi interaksi Tama tak canggung dengan gadis di depannya. “Maksud lo Gendis yang tadi kalian bicarakan, Tam?”
Tama mengangguk. “Iya. Dia ini Gendis Amelia. Lo nggak tahu?”
“Tau,” Mendadak Tama merasa aura tak enak. Elroy menyeringai. Ia sedikit mencondongkan wajahnya ke wajah Gendis, “Jadi lo cewek yang dijadiin bahan taruhan Bastian?”
“APPPAAAA!!!”
-tbc-
Lampung, Juni 2015
Selanjutnya Disini



4 komentar: